Senin, 10 Maret 2008

Akses Penduduk terhadap Kesehatan Modern di Petungkriyono

Tulisan ini saya unduh dari laporan penelitian yang pernah dilakukan selama dua minggu di Dukuh Rowo, Desa Tlogopakis, Kecamatan Petungkriyono, Kabupaten Pekalongan.

Dukuh Rowo adalah salah satu dukuh dari tujuh dukuh di desa Tlogopakis, Kecamatan Petungkriyono, Kabupaten Pekalongan. Adapun dukuh-dukuh yang lain adalah Kambangan, Tlogopakis, Sipetung, Totogan, Karanggondang, dan Sawangan. Dukuh Rowo berbatasan dengan Kambangan yang terletak di sebelah utara, sedang Tlogopakis terletak di sebelah barat dan letaknya lebih rendah dari Rowo. Dukuh Rowo terdiri dari sekitar 66 KK (kepala keluarga) dan dipimpin oleh seorang kepala dukuh yang disebut Pak Bahu (dibaca: Bau). Pak Bahu yang memimpin saat ini adalah Pak Bahu Sudarmo. Sebagian besar penduduknya berprofesi sebagai petani dan peternak. Di Rowo terdapat satu jalan utama yang membelah dukuh. Jalan utama tersebut adalah jalan berbatu yang sungguh tidak rata sama sekali, hanya sedikit yang diaspal yaitu jalan yang berdekatan dengan Kambangan.

Petungkriyono adalah salah satu dari dua Kecamatan terisolasi di Jawa Tengah selain Karimun Jawa (Semedi, 2006: 128), meskipun tidak dijelaskan dengan seksama kriteria-kriteria tertentu sehingga Petungkriyono termasuk didalamnya. Kategorisasi suatu komunitas atau suku bangsa diklasifikasikan sebagai kelompok masyarakat terasing, selain mereka tinggal di suatu lokasi yang jauh dari jangkauan alat transportasi, biasanya juga terkait dengan proses akultrurasi dan sikap mereka terhadap inovasi (Poerwanto, 2006: 6). Permasalahan kesehatan (dalam konteks modern) dapat dimasukkan ke dalam kriteria tersebut sehingga Petungkriyono pantas dikategorikan sebagai salah satu Kecamatan terisolasi atau terasing di Jawa Tengah. Tulisan atau laporan ini akan membahas kesehatan secara umum terutama bagaimana fungsi dari fasilitas infrastruktur - termasuk tenaga-tenaga medis - kesehatan modern itu sendiri dimanfaatkan sedemikian rupa oleh penduduk di Petungkriyono khususnya di Rowo. Sebaliknya juga melihat sejauh mana persepsi masyarakat setempat (local knowledge) dalam kaitannya dengan institusi kesehatan tradisional vis a vis institusi kesehatan modern.

Faktor Geografis dan Sarana Transportasi

Sebelum jauh berbicara mengenai keberadaan kesehatan modern di Petungkriyono (Rowo), saya akan mengulik sedikit mengenai sarana dan prasarana (fisik) yang ada di Petungkriyono secara umum. Sarana dan prasarana (fisik) ini secara tidak langsung sangat terkait dengan akses kesehatan modern yang ada di sana. Termasuk sarana dan prasarana yang ada di Petungkriyono tersebut juga ditentukan oleh topografi wilayah Petungkriyono.

Selain budaya yang memang berkembang diantara penduduk, sarana dan prasarana transportasi sangat riskan mempengaruhi mereka dalam mendapatkan akses pelayanan kesehatan modern. Kondisi jalan yang berbahaya – berbatu dengan tanjakan dan turunan curam serta belum sepenuhnya diaspal serta sisi jalan yang menyerupai jurang – secara tidak langsung berpengaruh besar terhadap kesediaan penduduk untuk memeriksakan diri di Puskesmas atau polindes. Apalagi jarak antara dukuh dengan tempat pelayanan kesehatan seperti Puskesmas sungguh jauh. Jarak antara rumah warga dengan salah satu dari dua tempat fasilitas kesehatan tersebut kira-kira 30 menit jalan kaki dalam versi mereka sendiri, atau kira-kira hampir satu jam bagi orang umum. Kondisi seperti ini lebih diperparah dengan minimnya alat transportasi umum yang menjangkau atau menghubungkan daerah yang satu dengan daerah yang lain yang bisa dimanfaatkan oleh penduduk setempat.

Doplak[1] adalah satu-satunya sarana transportasi umum di seluruh Tlogopakis yang dapat menghubungkan penduduknya dengan dunia di luar mereka. Keberadaan doplak ini tidak pasti setiap saat, penduduk harus menunggu lama untuk menggunakan doplak. Doplak juga hanya beroperasi tidak lebih dari tiga kali dalam sehari dengan jarak tempuh antara Tlogopakis dengan Kecamatan Doro. Sedang jarak tempuh doplak antara Tlogopakis – Doro adalah sekitar 4 jam, belum terhitung ngetem menunggu penumpang. Kondisi doplak pun tidak merepresentasikan sebuah alat transportasi yang nyaman dan aman untuk penduduk (baca: pasien) apabila seumpamanya ingin berobat ke Puskesmas. Terbatasnya jumlah doplak serta tidak adanya alternatif transportasi selain doplak sungguh berperan dalam akses penduduk untuk mendapatkan pelayanan kesehatan di Petungkriyono. Tidak mengherankan apabila telah banyak pasien yang meninggal dalam perjalanan menuju Puskesmas, disatu sisi karena memang telah terlambat ditangani secara medis modern, pun secara tidak langsung pengaruh dari sarana dan prasarana transportasi yang langka, tidak nyaman dan aman.

Kendala fisik berupa faktor geografis alam dan sarana transportasi di wilayah kerja bidan Polindes ini mempengaruhi kinerja mereka sebagai “penjemput bola” kepada warga yang sakit. Setidaknya hal tersebut berimbas terhadao frekuensi bidan berkunjung ke dukuh-dukuh lain yang notabene jauh dari tempat menetapnya. Bukan rahasia umum kalau bidan hanya sekali dalam sebulan berkunjung ke dukuh tertentu yaitu ketika hari pelaksanaan kegiatan Posyandu saja. Hal ini tentu saja semakin menambah kepercayaan masyarakat terhadap dukun, sebaliknya kurang menerima keberadaan tenaga medis serta mempengaruhi upaya masyarakat untuk mendapatkan akses kesehatan modern. Salah satu ekses yang selalu terjadi tiap tahun di Petungkriyono adalah kematian ibu dan bayi[2] dalam perjalanan mereka untuk merujuk ke Puskesmas.

Seharusnya jarak tempuh yang jauh antara rumah penduduk dengan tempat-tempat pelayanan kesehatan bisa dikurangi dengan fasilitas jalan yang baik, serta sarana angkutan yang nyaman dan aman. Sehingga tidak lagi ada atau setidaknya bisa dikurangi jumlah kematian ibu dan bayi (dibaca: pasien) di perjalanan mereka menuju tempat pelayanan kesehatan modern (Puskesmas) terdekat.

Faktor Budaya dan Kelangkaan Institusi Medis Modern

Kendala budaya menjadi salah satu faktor penting yang terkait dengan upaya masyarakat setempat untuk mendapatkan akses kesehatan modern. Masih kental kepercayaan masyarakat dukuh Rowo dan sekitarnya untuk tidak memanfaatkan jasa bidan, perawat atau dokter, apalagi datang berobat ke puskesmas, karena sungguh memalukan apabila penduduk lain menganggap mereka mengidap penyakit yang parah. Mendapatkan perawatan di puskesmas dianggap terpapar penyakit parah dan tidak bisa disembuhkan. Perasangka dan tuduhan tidak langsung yang berkembang di dalam masyarakat dapat menyebabkan warga tersebut dijauhi. Dalam lingkungan pedesaan yang masyarakatnya merupakan gemeinschaft, yang berdasar atas hubungan emosional-personal antar individu yang saling mengenal secara face to face, maka kondisi seperti itu tidak diinginkan sama sekali oleh setiap warga karena mereka memang memerlukan orang lain di sekitarnya untuk kelangsungan hidup.

Tidak heran apabila ketika sakit atau memerlukan pertolongan secara medis (modern), mereka lebih memilih untuk dirawat di rumah daripada puskesmas ataupun polindes (poliklinik desa). Bidan ataupun perawat lebih baik dipanggil ke rumah sehingga tidak ada orang lain yang mengetahui mereka sakit. Uniknya, bidan sebagai satu-satunya tenaga medis modern setempat bisa dipanggil melalui layanan pengiriman sms handpone (short message service), namun apabila letak tempat tinggal bidan jauh maka salah satu anggota keluarga menjemput dengan sepeda motor. Bidan yang datang ke rumah warga karena di-sms juga sering memakai jasa ojek sepeda motor, nantinya sudah tentu biaya ngojek akan diganti oleh keluarga tersebut.

Keberadaan tenaga medis modern seperti bidan, perawat bahkan dokter seharusnya ditambah setiap desa. Dua orang bidan dalam desa Tlogopakis dirasa sangat kurang untuk menangani seluruh penduduk di tujuh Dukuh dalam desa Tlogopakis. Tugas bidan sebagai petugas kesehatan profesional untuk membantu setiap proses persalinan akan lebih maksimal ketika bidan tidak harus direpotkan dengan tugas pelayanan kesehatan umum kepada penduduk (pasien). Tidak ada tenaga perawat apalagi dokter umum yang bertugas secara formal di desa Tlogopakis dan desa-desa lainnya di Kecamatan Petungkriyono. Tenaga dokter dan perawat hanya ditempatkan di Kecamatan yang notabene merupakan tempat satu-satunya Puskesmas berada.

Poliklinik desa (polindes) di Tlogopakis hanya dua buah disesuaikan dengan jumlah bidan yang bertugas di sana. Poliklinik desa ini berfungsi sebagai pos kesehatan di masing-masing wilayah kerja bidan. Di Tlogopakis polindes terdapat di salah satu ruangan kantor Kelurahan, tepatnya di samping aula (hall) yang biasanya dipakai untuk pelaksanaan kegiatan posyandu. Bidan yang bertugas di polindes ini menetap di samping ruang polindes tersebut bersama salah satu warga yang menjadi pembantunya. Poliklinik desa Sipetung yang menjadi wilayah kerja bidan untuk dukuh Sipetung itu sendiri, Totogan, Karanggondang dan Sawangan, terletak di salah satu ruangan dalam rumah salah satu warga, dan polindes ini hanya berupa satu ruangan yang tidak terlalu besar yang sekaligus merupakan tempat tinggalnya. Memperihatinkan memang karena bidan tinggal dan menetap di tempat yang menjadi ruang kerjanya. Obat-obatan serta perlengkapan medis pun ditaruh dalam ruangan polindes dan juga kamar bidan tersebut.

Kelangkaan tenaga perawat dan dokter umum dalam setiap desa (apalagi dukuh), secara tidak langsung memperkuat kepercayaan masyarakat akan peran sentral dari seorang dukun untuk memberikan pertolongan medis. Meskipun bidan di Tlogopakis dilatih pengetahuan dasar mengenai keperawatan dan tindakan medis umum, namun keberadaan bidan yang selalu berganti setiap periode tertentu secara tidak langsung juga berdampak pada proses adaptasi dan sosialisasi mereka di masyarakat. Tentu saja adaptasi dan sosialisasi ini memerlukan waktu dan tidak selamanya berjalan mulus, masyarakat pun harus mulai membiasakan diri mereka dengan tenaga-tenaga kesehatan baru yang notabene berbeda sama sekali dengan yang sebelumnya. Hubungan-hubungan emosional masih kental di masyarakat Petungkriyono, sehingga apabila merasa tidak cocok dengan praktik dan kerja tenaga kesehatan baru dia bisa saja beralih kembali ke dukun.

Dua orang bidan yang bertugas di desa Tlogopakis adalah Silvy dan Mudrikah. Mereka berdua ditempatkan sejak bulan Agustus tahun 2007. Silvy bertugas untuk wilayah Rowo, Kambangan dan Tlogopakis; sedang Mudrikah bertugas di wilayah Sipetung (yang juga menjadi tempat tinggalnya), Totogan, Karanggondang dan Sawangan. Sungguh aneh ketika mengetahui bahwa selama enam bulan sejak masa tugasnya bidan Silvy di Tlogopakis tidak pernah sama sekali membantu persalinan seorang warga baik itu di Tlogopakis, Kambangan ataupun Rowo. Berbeda dengan bidan Mudrikah, mungkin sudah tidak terhitung berapa orang warga yang ditolong melahirkan, bahkan termasuk warga dari dukuh-dukuh di luar Tlogopakis.

Dukun: Sosok dan Perannya Belum Tergantikan

Keberadaan dukun (beranak/bayi) di wilayah kerja dua orang bidan ini sangat berpengaruh terhadap kinerja mereka. Di wilayah kerja bidan Silvy, tepatnya di Tlogopakis dan Kambangan terdapat masing-masing seorang dukun. Sedang di wilayah kerja bidan Mudrikah tidak ada seorang pun dukun. Dukun di Tlogopakis bernama Chasmikah – akrab dipanggil Mikel – sedang dukun di Kambangan adalah Tasmi.

Dua orang dukun bayi tersebut telah berpraktik lama jauh sebelum keberadaan bidan di Tlogopakis. Tasmi sendiri sudah menjadi dukun selama kurang lebih delapan belas tahun, dan sampai sekarang masih menjadi tujuan utama warga yang melahirkan. Bidan hanya dipanggil ketika ibu yang melahirkan mengalami pendarahan yang tidak bisa diatasi oleh dukun, atau ketika memerlukan tindakan medis modern seperti menjahit luka, pemotongan tali pusar yang steril atau pemberian vitamin penambah darah kepada ibu yang melahirkan.

Biasanya seluruh proses persalinan dikerjakan sendiri oleh dukun. Ketika waktu persalinan tiba, tidak seorang pun diperbolehkan berada di dalam ruangan kecuali hanya dia berdua dengan perempuan yang akan melahirkan. Proses persalinan sama sekali dikerjakan secara tradisional, dengan memijat dan mengurut di beberapa bagian tubuh (perut) perempuan hamil. Ketika bayi lahir, dia sendiri yang biasanya memotong tali pusar bayi, menghentikan pendarahan ibu, sampai memandikan bayi. Perawatan ibu dan bayi selanjutnya dilakukan selama dua belas hari sejak hari pertama melahirkan. Dukun setiap dua kali sehari selama dua belas hari melakukan ’kontrol’ terhadap kesehatan ibu dan bayinya dengan memberikan pijatan atau sentuhan pada bagian tertentu perut ibu, serta memberikan minuman jamu dari ramuan-ramuan yang dibuat sendiri olehnya. Dukun memperoleh bayaran sebesar Rp 150.000,- sampai Rp 200.000,- dari hasil membantu persalinan seorang warga dan termasuk perawatan ibu dan bayi selama dua belas hari setelah proses persalinan.

Satu hal lain yang menarik dari keberadaan dukun di Rowo adalah aktifitasnya setiap kliwon berkeliling kampung ke rumah setiap wanita hamil. Sambil berkeliling dia membawa minuman jamu hasil buatannya sendiri untuk diberikan kepada mereka dan anak-anak kecil. Dukun tersebut melakukan ’kontrol’ terhadap para wanita hamil, terutama keberadaan kandungan mereka dan tentu saja anak kecil yang mereka miliki. Dukun biasanya memegang perut wanita hamil dan memijat, mengurut di beberapa bagian perutnya, sedang anak-anak kecil diberi minum jamu masing-masing sebanyak tiga sendok makan. Pemeriksaan terhadap kandungan oleh dukun tersebut tidak tergantung pada usia kandungan. Usia kandungan yang baru seminggu pun diperiksa oleh dukun, dan yang terutama tentu saja kandungan yang mendekati waktu persalinan.

Para wanita hamil tersebut mengakui merasa lebih segar dan sehat setelah kandungan mereka diperiksa oleh dukun. Anak-anak pun selalu suka meminum jamu yang diberikan kepada mereka.[3] Dengan aktifitas ’kontrol’ yang selalu dilakukan setiap minggu, kita tidak bisa menyangsikan kalau dukun bayi mengetahui (pasti) jumlah wanita hamil di dukuh tempatnya berada. Dukun secara tidak langsung mengetahui usia kandungan tiap wanita hamil dan juga waktu persalinannya.[4] Dia tidak pernah mengajukan diri untuk membantu persalinan seorang warga karena memang setiap warga selalu memintanya untuk membantu persalinan mereka.

Keberadaan dukun diakui atau tidak memang secara tidak langsung memposisikan bidan menjadi nomer dua untuk urusan membantu persalinan warga. Bidan juga sangat menyadari kondisi masyarakat masih seperti itu namun sebagaimana diakui sendiri oleh bidan Silvy, memerlukan waktu untuk mengubah persepsi dan kesadaran masyarakat mengenai arti pentingnya akses pelayanan kesehatan modern. Dia pun selama ini juga ’bekerja sama’ dengan dukun untuk membantu masyarakat yang melahirkan, meskipun tugas utama tetap dipercayakan kepada dukun setempat.

Lain bidan Silvy, lain pula dengan bidan Mudrikah. Bidan Mudrikah sebaliknya tidak mengalami kendala sebagaimana dialami bidan Silvy terkait keberadaan dukun bayi yang ada di wilayah kerjanya. Mudrikah selalu membantu persalinan setiap warga di wilayah kerjanya, bahkan warga dukuh-dukuh dari desa tetangga juga memanfaatkan tenaganya.[5] Sesuai dengan pengakuannya sendiri, tidak ada satu pun dukun di wilayah kerjanya sehingga dia pribadi yang langsung menangani proses persalinan warga.

Kader Posyandu: Pemberdayaan Penduduk Lokal

Pemanfaatan tenaga kader-kader kesehatan penduduk lokal bidan sebelumnya menjadi cara terbaik untuk membantu meringankan tugas bidan baru di Kecamatan Petungkriyono, khususnya di Desa Tlogopakis. Setidaknya bidan baru tidak perlu bersusah payah memberikan pelatihan tugas-tugas mereka. Pelatihan dan pengkaderan penduduk lokal menjadi tenaga kesehatan (baca: kader posyandu) yang membantu tugas bidan dilaksanakan di Puskesmas. Pelatihan dan pengkaderan ini diberikan selama tiga sampai empat kali dalam setahun, namun tahun 2007 yang lalu hanya dua kali. Dokter, perawat dan bidan Puskesmas yang melatih mereka, namun sering tidak jauh berbeda dengan pelatihan-pelatihan sebelumnya.

Penduduk lokal yang menjadi kader kesehatan memang khusus membantu bidan dalam kegiatan pelaksanaan posyandu setiap bulannya. Posyandu Melati merupakan nama dari kelompok posyandu di Rowo dan mempunyai dua orang kader posyandu. Tarsumi dan Tuyipah adalah dua orang kader posyandu Melati Rowo, dan Tuyipah ditunjuk menjadi ketua posyandu Melati di Rowo. Pelaksanaan posyandu di Rowo selalu bersamaan dengan waktu pelaksanaan posyandu di Kambangan yaitu pada tanggal 12 setiap bulan. Ada tiga orang kader posyandu di Kambangan yang membantu tugas bidan yaitu Harni, Sarkiyem dan Sukinah. Pelaksanaan kegiatan posyandu di Rowo dan Kambangan bersamaan karena letak kedua dukuh tersebut berdekatan satu sama lain, sehingga bidan bisa lebih menghemat waktu dan tenaga. Pelaksanaan posyandu di kedua dukuh tersebut selalu diawali di Kambangan, setelah selesai baru bidan pergi ke Rowo untuk kegiatan yang sama.

Tlogopakis sendiri juga mengadakan kegiatan posyandu setiap bulan di salah satu ruangan (hall) di kantor Kelurahan Tlogopakis. Bedanya kegiatan posyandu di Tlogopakis tidak dilaksanakan pada tanggal tertentu setiap bulannya sebagaimana Kambangan dan Rowo. Kegiatan posyandu di Tlogopakis setiap bulan memang lebih mudah dan efektif, karena bidan berdomisili di Tlogopakis, dalam artian bidan tidak perlu menempuh perjalanan jauh untuk pelaksanaan kegiatan posyandu, sehingga tidak masalah dilaksanakan pada tanggal berapapun setiap bulannya. Di Tlogopakis bidan juga mempunyai tiga orang kader posyandu yaitu Saonah, Kartinem, dan Karni. Selain tiga orang kader posyandu ini, bidan juga mempunyai seorang pembantu (rumah tangga) yang tinggal bersamanya di ruangan samping tempat praktiknya.

Ruangan (hall) untuk kegiatan posyandu di Tlogopakis memang berukuran lebih besar berbentuk L, daripada ruangan rumah (ruang tamu) yang digunakan sebagai tempat pelaksanaan posyandu di Rowo. Meskipun lebih besar namun ruangan tersebut sungguh tidak merepresentasikan tempat untuk pelaksanaan kegiatan kesehatan karena kondisi ruangan yang memperihatinkan. Sebagian besar jendela ruangan rusak dan tidak mempunyai kaca, sementara langit-langit ruangan bolong di beberapa tempat, dan lantai ruangan yang jauh dibilang bersih. Di salah satu pojok ruangan tersebut terdapat sebuah drumset tua yang sudah rusak dan membuat kondisi ruangan semakin berantakan dengan kursi-kursi plastik yang tidak tertata dengan rapi.

Kegiatan posyandu lebih diperuntukkan bagi kesehatan ibu dan anak (bayi). Kegiatan posyandu di kalangan anak lebih difokuskan pada pemberian imunisasi terhadap anak balita (bawah lima tahun). Imunisasi yang diberikan kepada anak balita adalah imunisasi tetanus dan campak. Imunisasi[6] campak diberikan kepada bayi yang berumur tidak lebih dari sembilan bulan, sedang imunisasi tetanus untuk bayi yang berumur dua belas bulan. Posyandu untuk para ibu hamil lebih difokuskan pada pemeriksaan kandungan dan pemberian informasi mengenai konsumsi gizi untuk menjaga kesehatan bayi dalam kandungan. Dalam setiap kegiatan posyandu masing-masing bayi yang dibawa mendapatkan susu dan makanan tambahan berupa biskuit secara cuma-cuma. Pemberian makanan tambahan pengganti Asi yaitu bubur diperuntukkan kepada bayi yang berumur enam bulan sampai bayi berumur satu tahun. Sedang untuk makanan tambahan berupa roti diberikan kepada bayi yang berumur satu tahun sampai umur lima tahun.[7]

Tugas kader posyandu umumnya menimbang bayi, mengukur berat badan bayi, membagikan roti (biskuit) yang merupakan MPA (makanan pengganti Asi), serta membantu mencatat hasil kegiatan posyandu setiap bulannya. Ketua kader bahkan diserahi sebagian tugas dan tanggung jawab bidan dalam mencatat perkembangan kegiatan posyandu yang telah dilakukan, termasuk juga menyediakan (baca: menjual) pilihan alat bantu KB para pasangan suami isteri (pasutri) dan untuk wanita usia subur-pasangan usia subur (WUS-PUS). Tidak jarang juga ketua kader posyandu yang membawa buku laporan bulanan pelaksanaan posyandu ke Puskesmas apabila bidan berhalangan. Adanya kader-kader posyandu ini sangat membantu bidan, terutama di dukuh-dukuh yang letaknya jauh dari bidan atau tenaga kesehatan yang ada sehingga dimungkinkan dapat mengganti peran bidan apabila berhalangan.

Dari catatan kegiatan posyandu yang dibuat oleh ketua kader Posyandu kita akan dapat mengetahui berbagai macam informasi terutama yang menyangkut ibu dan anak di dukuh setempat. Berikut ini adalah beberapa catatan yang dibuat oleh Tuyipah sebagai ketua kader Posyandu Melati Dukuh Rowo. Pada bulan Januari 2008 terdapat lima belas bayi balita (bawah lima tahun) di Rowo (Registrasi Anak Balita Dalam Wilayah Kerja Posyandu Januari-Desember 2008). Jumlah peserta kegiatan posyandu pada tanggal 12 Januari 2008 adalah sebanyak empat puluh satu orang (Data WUS-PUS Dalam Wilayah Kerja Posyandu Januari-Desember 2008). Sedang jumlah wanita hamil hasil pencatatan dan pendataan kegiatan posyandu tanggal 12 Januari 2008 adalah hanya satu orang wanita hamil yaitu Nyonya Wahyuni. Nyonya Wahyuni disebutkan menjalani kehamilan yang kedua (Registrasi Ibu Hamil Dalam Wilayah Kerja Posyandu Januari-Desember 2008). Pada kegiatan posyandu yang pertama tahun 2008 ini, jumlah bayi yang diimunisasi hanya dua orang. Dua orang bayi tersebut adalah Zaenal Arif putra dari pasangan suami isteri Wahidin dan Tadmiati, satunya adalah M. Sofian putra dari pasangan suami isteri Kasmadi dan Ruswati (Registrasi Anak Balita Dalam Wilayah Kerja Posyandu Januari-Desember 2008).

Pilihan alat KB (keluarga berencana) untuk wanita usia subur-pasangan usia subur (WUS-PUS) warga Rowo bisa didapatkan pada Tuyipah yang menjadi ketua kader Posyandu Melati. Alat KB yang banyak dipilih oleh WUS-PUS di Rowo adalah pil KB. Menurut catatan dalam buku posyandu tersebut terdapat tiga puluh satu orang wanita Rowo yang menggunakan pil KB, sedang wanita yang memakai alat KB implan sebanyak tujuh orang. Untuk alat KB implan hanya bisa dilakukan di Puskesmas, sedang KB suntik bisa dilakukan di Polindes Tlogopakis oleh bidan Silvy. Pil KB banyak dipilih oleh para WUS-PUS karena mudah didapatkan di posyandu Melati, meskipun memang untuk pemakaian alat KB harus sesuai dengan kecocokan masing-masing orang.

Keberadaan kader-kader Posyandu ini layaknya upaya pemberdayaan orang lokal dalam bidang kesehatan modern, meskipun tugas dan tanggung jawab mereka lebih pada membantu bidan. Seharusnya melalui kader-kader posyandu ini – secara bertahap – diupayakan peningkatan kesadaran warga akan arti pentingnya pemanfaatan akses-akses kesehatan modern yang sudah ada. Terlepas dari kelangkaan jumlah dan letaknya yang jauh, pemaksimalan upaya warga untuk mengakses Polindes, jasa bidan dan Puskesmas sewajarnya tidak mendapatkan kendala yang berarti. Warga setempat termasuk dalam kriteria keluarga miskin yang berarti memperoleh “JPS” (jaringan pengaman sosial) ataupun asuransi kesehatan (Askes)[8] yang tidak mewajibkan mereka untuk membayar biaya pengobatan. Tenaga-tenaga kesehatan yang ada di Petungkriyono seperti dokter, perawat dan bidan pun membenarkan hal tersebut bahwa mereka tidak dibenarkan untuk meminta ongkos perawatan kepada warga yang termasuk dalam kategori keluarga miskin.

Kendala budaya yang kuat berakar di masyarakat – yang menghalangi warga untuk memperoleh akses kesehatan (modern) – bisa sedikit demi sedikit dirubah, dengan kerjasama antara pemerintah (melalui Puskesmas) dengan tokoh-tokoh lokal setempat seperti Kepala Desa, Pak Bahu, tokoh agama, guru dan tokoh intelektual desa, serta kader posyandu untuk selalu mengkampanyekan (baca: menginformasikan) pentingnya memperoleh perawatan kesehatan secara modern. Dukun pun tidak menutup kemungkinan diberikan pelatihan cara-cara pertolongan dan perawatan (modern) untuk mengurangi resiko ketika membantu persalinan warga.

Referensi Tambahan

Semedi, Pujo. 2006. Petungkriyono – Mitos Wilayah Terisolir – Dalam Heddy Shri Ahimsa Putra (Editor). Esei-Esei Antropologi Teori, Metodologi&Etnografi. Yogyakarta: Kepel Press.

Poerwanto, Hari. 2006. Dinamika Hubungan Antar Suku Bangsa-Hand Out. Yogyakarta.



[1] Doplak merupakan kendaraan pick up (bak terbuka) untuk mengangkut orang, barang belanjaan, ataupun benda-benda lain seperti kayu hutan, pupuk, bahkan ternak. Penumpang umumnya duduk atau berdiri di bak terbuka belakang bersama kenek dan barang-barang, sedang di kursi depan samping sopir duduk maksimal tiga orang penumpang.

[2] Menurut informasi dari Dokter Faishol (Kepala Puskesmas), jumlah kematian ibu dan bayi pada tahun 2007 dalam perjalanan untuk merujuk ke Puskesmas adalah sekitar 30 orang dalam Kecamatan Petungkriyono. Sayang sekali saya tidak diizinkan untuk melihat catatan tertulis Puskesmas mengenai jumlah kematian ibu dan bayi di Petungkriyono. Wawancara dengan Faishol, Senin 21 Januari 2008.

[3] Wawancara dengan Sumini, Rabu 23 Januari 2008.

[4] Wawancara dengan Tasmi, Sabtu 19 Januari 2008.

[5] Wawancara dengan Mudrikah, Senin 28 Januari 2008.

[6] Imunisasi tidak hanya dilakukan pada saat pelaksanaan posyandu, terdapat juga kegiatan imunisasi lain yang diperuntukkan kepada anak-anak sekolah seperti PIN (Pekan Imunisasi Nasional) dan BIAS (Bulan Imunisasi Anak Sekolah). Untuk kegiatan PIN dan BIAS ini, tidak jarang dokter dan perawat Puskesmas ikut “turba” membantu dan berpartisipasi meringankan tugas bidan.

[7] Wawancara dengan Tuyipah (ketua kader Posyandu Melati Dukuh Rowo), Sabtu 19 Januari 2008.

[8] Kriteria keluarga miskin yang termasuk dalam program JPS atau Askes untuk Keluarga Miskin memang harus bisa ditunjukkan dengan kartu identitas tertentu yang bisa membebaskan setiap warga dari semua biaya pengobatan. Sebagian besar warga memang belum mempunyai kartu tersebut, dan kenyataannya hampir tidak pernah warga diminta untuk membayar meskipun mereka belum mempunyai kartu JPS dan Askes tersebut.