Jumat, 31 Oktober 2008

Amoy Warung Kopi Singkawang

Amoy (Warung Kopi) Singkawang: Bukan Perempuan Biasa
Singkawang sangat familiar dan terkenal dengan julukan “Kota Amoy”. Hongkongnya Indonesia ini menyimpan mutiara-mutiara oriental yang sungguh menakjubkan. Tidak di rumah semata, tidak pula sebatas pagi hari, atau hanya sesosok putri anggun menawan, lebih dari itu untuk menggambarkan Amoy Singkawang. Kita bisa temukan di jalan-jalan raya Singkawang manapun, bahkan di sudut-sudut gang yang banyak membelah Singkawang. Semaraknya kehidupan malam Singkawang menjadi dunia sendiri bagi (sebagian) Amoy. Mereka pun menjadi kupu-kupu malam yang berkeliaran di belahan bumi seribu kuil ini.
Kupu-kupu oriental itu semakin tampak menawan di antara kumbang-kumbang malam warung kopi Singkawang. Keindahan dan eksotika pesona mereka membuat semarak malam-malam kelam kota Singkawang. Balutan busana modist nan sexy menyelimuti tubuh molek tersebut, menyajikan sensasi tersendiri di warung kopi. Kumbang-kumbang itu semakin betah dan tiada bosan apalagi sesekali sang kupu tanpa sungkan dan malu berada diantara mereka. Sang kupu melayani keperluan mereka, meracik minuman dan makanan, sekaligus mengantarkan untuk mereka, tak jarang pula menuangkan minuman hanya untuk kepentingan mereka. Tangan-tangan putih dan halus itu begitu indah namun gesit menyulap segala macam minuman dan makanan untuk dikonsumsi sang kumbang. Lenggang halus serta gerak tubuh yang gemulai dan sesekali mengeluarkan suara dari sebentuk mulut kecil berbibir tipis sang kupu menambah mabuk sang kumbang.
Memang tidak lama sang kupu itu hinggap di tempat istirahat sang kumbang karena kumbang-kumbang lain pun pergi dan menjelang begitu rupa. Tentu saja sang kupu harus sigap terbang dan mengepakkan sayapnya ke kumbang-kumbang lainnya. Sang kupu memang dituntut untuk berganti rupa dan keindahan untuk setiap kumbang yang berbeda-beda. Dia harus menyenangkan hati semua kumbang yang mempunyai rupa serta corak yang juga beragam itu.
Tersubordinasi secara Kultural
Seorang amoy tiba-tiba berdiri menanggapi pertanyaan saya kepada para pembicara pada salah sebuah pertemuan guru swasta bahasa Mandarin beberapa waktu lampau di SMP-SMA Barito. Saat itu saya ingin mengetahui bagaimana tanggapan para pembicara – pembicara utamanya adalah seorang Professor dari Tiongkok – mengenai image Singkawang sebagai Kota amoy, image amoy yang negatif, yang terus terang saya telan mentah-mentah sebagai bekal saya ketika mendatangi Singkawang. Dia tidak sepenuhnya menolak hal tersebut, bahkan secara tidak langsung memberikan “pengakuan” berharga kepada saya bahwa sesungguhnya kondisi amoy Singkawang terutama di daerah sekitar tempat tinggalnya – Kaliasin – sangat memprihatinkan. Kemiskinan ekonomi disebutnya sebagai faktor utama, apalagi
Kupu-kupu malam ini menjadi image sentral kota Singkawang yang sangat kental dengan keindahan sosok mereka. Sosok mereka sudah sejak ratusan tahun lalu digambarkan oleh George Windsor Earl (Mooridjan, terj. 2003) sebagai perempuan yang an ciang dengan kaki-kaki yang selalu tetap terpelihara bersih, betis yang indah dan tentu saja dengan sifatnya yang ramah dan halus. Personifikasi perempuan Tionghoa ini sangat kontras dengan laki-lakinya yang terkesan kasar, seram, dan kurang bersahabat terutama terhadap pihak-pihak yang belum dikenalnya.
Keberadaan Amoy Singkawang di warung kopi (warkop) dewasa ini, sungguh patut menjadi rujukan penghargaan seorang Earl terhadap perempuan Tionghoa yang ditemuinya dalam perjalanan menuju Montrado(k). Amoy ini rata-rata berumur belasan hingga duapuluhan tahun, dan sudah terjun ke “dunia malam” untuk bekerja. Mereka memang ada yang sudah tidak sekolah, namun tidak sedikit pula yang masih sekolah. Mereka yang benar-benar kerja – dari sejak petang sekitar pukul 18.00 hingga dinihari sekitar pukul 02.00 – dan masih berstatus sebagai siswi sekolah mempunyai trik tersendiri untuk mengatur waktu mereka. Strategi (manajemen waktu) – tidak lepas dari peran seorang ibu – biasanya menempatkan jam sekolah mereka pada siang hari hingga sore. Pagi (dini) hari setelah tutup warkop mereka manfaatkan untuk istirahat beberapa jam. Karena mereka juga “harus” bangun pagi untuk membantu orang tua (ibu) melakukan pekerjaan rumah seperti membersihkan rumah, pergi ke pasar, masak, ataupun merawat adik-adik mereka yang masih kecil.
Rutinitas yang dilakoni Amoy ini menegaskan sebuah peran rangkap tiga (triple role) perempuan dalam masyarakat. Peran domestik – yang selalu dialamatkan kepada perempuan – terlihat dari pekerjaan rumah yang tidak bisa mereka lalaikan. Sedang peran publik – sebaliknya selalu diakui oleh laki-laki – pun mereka jalani dengan bekerja semalam suntuk di warung kopi. Meskipun dua peran itu sudah mereka lakoni, perempuan (Amoy) ini masih diposisikan subordinat secara budaya dalam masyarakat (Tionghoa) yang masih patriarkat. Bagaimana dengan laki-laki (Tionghoa) di pihak lain? Tentu saja sangat kontras dengan peran Amoy, mereka hanya bergelut pada pentas publik dan hal tersebut terlegitimasi secara budaya. Salah satu budaya yang dimaksud ini adalah nilai-nilai ajaran Konfusian. Pratiwi (1995: 223) mengungkapkan bahwa ajaran Konfusian ini menempatkan laki-laki mempunyai hak yang lebih tinggi dari perempuan, peran perempuan dan identitas yang dimiliki oleh mereka didefinisikan dari laki-laki atau suami mereka. Dalam falsafah kosmologi Yin dan Yang ajaran Konfusian – Yin adalah representasi perempuan sedang Yang merepresentaskan laki-laki – inferioritas yang dialami perempuan dilihat sebagai bagian dari hukum alam atau praktik-praktik sosial yang konsisten dengan kepercayaan itu.
Sangat jarang perempuan seperti Amoy Singkawang. Faktor ekonomi bukan menjadi rahasia umum lagi untuk mengulik alasan Amoy menjalankan peran mereka tersebut. Namun terdapat satu hal lain yang setidaknya – lagi-lagi secara kultural – entah itu disadari atau tidak menempatkan mereka pada posisi sedemikian rupa. Hal tersebut tidak lain adalah “hao” atau tindakan bakti seorang anak terhadap orang tua dalam keluarga Tionghoa, yang mana disebut juga sebagai filial piety. Mengatasnamakan “hao” inilah maka terjadi inferioritas terhadap perempuan (Amoy) dalam keluarga Tionghoa.
Nilai-nilai budaya ini setidaknya menimbulkan apa yang disebut sebagai “kepatuhan sosial” perempuan terhadap orang tua dan laki-laki. Orang tua dan termasuk juga laki-laki Tionghoa melegitimasi kekuasaan mereka atas diri Amoy dalam wujud kepatuhan yang harus selalu ditunjukkan oleh para Amoy tersebut. Kepatuhan-kepatuhan sosial perempuan sebagaimana dialami oleh Amoy Singkawang tidak terlepas dari ideologi nature dan culture atau obyek dan subyek perempuan yang mana perempuan ditempatkan sebagai obyek dalam dunia laki-laki (culture) (Cormack, 1980; Rosaldo, 1983 dalam Abdullah, 2001: 49). Kepatuhan sosial yang dituntut oleh orang tua dan keluarga (laki-laki) kepada Amoy Singkawang merupakan bukti adanya ketimpangan konstruksi gender dalam kehidupan keluarganya.
Permasalahan Amoy: Permasalahan Ketimpangan Gender atau…?
Gender dan permasalahannya tidak terlepas dari wilayah (lokalitas) dan waktu terjadinya. Mengenai hal tersebut, gender (sosial) menurut Ivan Illich (1998: 13) disebut sebagai sebuah dualitas yang pada umumnya bersifat lokal dan terikat waktu, yang berlaku pada laki-laki dan perempuan dengan berbagai keadaan dan kondisi yang mencegah mereka berkata, berbuat, berangan-angan, atau berpikir tentang ‘hal yang sama’. Selanjutnya Ivan Illich (ibid. , hal.45) mengatakan bahwa gender bukan hanya sekedar menyangkut jenis kelamin, namun gender juga mengisyaratkan polaritas sosial yang sifatnya fundamental dan tidak akan sama di berbagai tempat. Gender adalah sesuatu yang memang membedakan (mengidentifikasi) setiap orang sebagai feminin atau maskulin dan permasalahannya berbeda di berbagai tempat. Bagaimana dengan identifikasi gender pada “kasus” Amoy Singkawang?
Heidhues (2003: 38) menyebutkan bahwa peran gender diantara orang-orang Hakka (Khek) Kalimantan Barat sangat sedikit terlihat daripada orang-orang Cina lainnya. Salah satunya mencontohkan betapa perempuan-perempuan Hakka terbiasa untuk bekerja di luar (ladang, sawah) dan lebih independen daripada perempuan-perempuan Cina nonHakka. Dan memang terbukti kalau polarisasi peran gender antara perempuan dan laki-laki Tionghoa tidak begitu kentara terkait dengan fenomena Amoy Singkawang dewasa ini. Sebaliknya peran Amoy sangat signifikan dalam kehidupan keluarga Tionghoa. Mereka menjadi tulang punggung perekonomian keluarga – dengan bekerja di panggung publik sebagaimana laki-laki – tanpa melalaikan kodratnya sebagai perempuan untuk bergelut dalam wilayah domestik rumah tangga.
Sosok Amoy dengan segala peran dan bakti (hao) tidak lantas merubah kehidupannya – dan keluarga – menjadi layak baik secara ekonomi ataupun kultural. Kembali kita heran bagaimana hal tersebut bisa terjadi. Padahal jerih payah kerja membanting tulang yang ditunjukkan mereka, serta totalitas dalam bakti seharusnya berbuah kepada kesejahteraan kehidupan. Setidaknya dalam penelitian saya, permasalahan urgen-nya adalah pendidikan. Keinginan untuk mengenyam pendidikan setinggi mungkin sangat minim diantara Amoy Singkawang, dan ironisnya tidak sedikit disebabkan oleh orang tua. Porsi terhadap pendidikan diantara Amoy ini, sebut saja (jam) belajar, sangat jauh dibandingkan dengan “tuntutan” ekonomi dan budaya yang harus mereka praktikkan dalam keseharian mereka. Bayangkan saja, bagaimana mereka bisa mempunyai cukup waktu untuk belajar apabila mulai petang sampai dinihari harus bekerja, kemudian pagi hari mereka harus membantu orang tua sampai siang menjelang waktu sekolah mereka. Tidak heran apabila PR (pekerjaan rumah) jarang atau tidak dikerjakan sama sekali.
Dibalik kekaguman saya yang sangat akan Amoy Singkawang, sungguh terdapat rasa miris dan sedih akan kurangnya mereka dalam hal pendidikan. Seharusnya dengan etos kerja yang sangat baik – sebagaimana ditunjukkan oleh para Amoy – dan hao terhadap orang tua (keluarga), apalagi didukung dengan modal pendidikan yang cukup, maka kehidupan keluarga Tionghoa Singkawang akan jauh dari kemiskinan. Sehingga image Amoy Singkawang sebagai “dolar” atau “barang ekspor” untuk laki-laki luar negeri bisa hilang atau lambat laun pasti akan sangat berkurang. Pemerintah, instansi pendidikan, masyarakat dan lembaga yang concern akan permasalahan Tionghoa (Singkawang) selayaknya peka akan hal ini.
Akhriyadi Sofian
Referensi Acuan
Abdullah, Irwan. 2001. Seks, Gender, dan Reproduksi Kekuasaan. Yogyakarta: Tarawang Press.
Earl, George Windsor. 1932. The Eastern Seas (terj. Mooridjan: 2003). America: Oxford University Press.
Heidhues, Mary Somers. 2003. Golddiggers, Farmers, and Traders in the “Chinese District” of West Kalimantan, Indonesia. New York: Cornell University.
Illich, Ivan. 1998. Matinya Gender. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Pratiwi, Restu. “Wanita Pada Masa Tradisional Cina”, dalam Konfusanisme di Indonesia Pergulatan Mencari Jati Diri. 1995. Yogyakarta: Interfidei.