Rabu, 16 Juli 2008

pedaleman dan bawaq sabo: sisa feodalisme di Kelayu?

Kelayu : Pedaleman, Bawaq Sabo sampai permasalahan Budaya

Menyebut Kelayu, pikiran langsung tertuju pada religiusitas dan intelektualitas masyarakatnya. Wajah Kelayu merupakan wajah Sasak yang khas, setiap orang Lombok pasti tidak menyangkal hal tersebut. Stereotipe Kelayu yang demikian itu tidak lepas dari peran dan pengaruh dua kelompok sosial yang ada di Kelayu. Dua kelompok sosial itu adalah Pedaleman dan Bawaq Sabo.

Suatu hal yang khas yang terdapat di Kelayu yang mungkin tidak terdapat di daerah-daerah lain di Lombok yaitu tidak adanya pengklasifikasian masyarakat berdasar atas patron-klien (an sic). Tidak terdapat klas-klas atau penggolongan masyarakat atas bangsawan atau rakyat jelata. Hal tersebut bisa dilihat dari tidak adanya atau tidak dipakainya gelar kebangsawanan (sebagaimana layaknya orang Sasak) oleh beberapa penduduk yang sebenarnya secara kultural termasuk bangsawan. Pengecualian bagi para pendatang yang kemudian menetap di Kelayu. Tidak adanya embel-embel gelar bangsawan pada nama - Lalu untuk menyebut bangsawan laki-laki dan Baiq untuk menyebut bangsawan perempuan – merupakan salah satu ciri feodalisme “menyimpang dan usang” di Kelayu.

Hal demikian itu bukan berarti bahwa di Kelayu memang tidak terdapat kelompok penduduk dari kalangan bangsawan (dalam arti sebenarnya). Untuk wilayah Kelayu Selatan[1] masih terdapat keturunan atau keluarga bangsawan (setidaknya demikian anggapan orang Kelayu) yang disebut sebagai Pedaleman[2] sedang untuk wilayah Kelayu Utara kelompok ini disebut Bawaq Sabo – bahasa Lombok bawaq berarti bawah, sedang sabo berarti buah pohon sawo.

Pedaleman yang merupakan klan bangsawan dari Kelayu Selatan bertempat tinggal dengan model pemukiman sentralistik, yang mana seluruh keluarga ini tinggal di rumah-rumah yang saling berdekatan satu sama lain. Dari tipe perumahan sentralistik ini baru terlihat ciri-ciri feodalisme masih berusaha dikesankan oleh klan pedaleman. Lingkungan tempat tinggal mereka di kelilingi tembok yang tinggi dengan pintu tertutup rapat yang secara tidak langsung membedakan lingkungan mereka dengan lingkungan sekitarnya. Tidak jauh berbeda dengan klan Pedaleman, klan Bawaq Sabo juga mempunyai stereotipe yang masih tidak melepaskan mereka dari unsur feodalisme tersebut. Klan Bawaq Sabo ini tinggal di wilayah Kelayu Utara. Sebagaimana nama klan-nya, Bawaq Sabo mempunyai lingkungan tempat tinggal yang juga sentralistik yang dicirikan dengan adanya pohon sawo. Pohon sawo terdapat di areal tempat tinggal, biasanya terdapat di halaman rumah induk. Klan Bawaq Sabo ini tidak mesti bertempat tinggal di dalam lingkungan rumah induk tersebut, bisa juga di sekitarnya namun tempat tinggal mereka mempunyai pohon sawo sebagai ciri utama kebangsawanan mereka. Penduduk yang terdapat pohon sawo di halaman rumah mereka bisa dipastikan mereka adalah klan Bawaq Sabo ini, golongan terhormat, penduduk biasa pun tidak menanam pohon sawo di halaman rumah.

Klan Pedaleman dan Bawaq Sabo mempunyai beberapa perbedaan signifikan. Sebagaimana disebut sebelumnya, klan Bawaq Sabo bertempat tinggal di Kelayu Utara sedang Pedaleman berdomisili di Kelayu Selatan. Klan Pedaleman berorientasi pada sektor informal seperti kegiatan perdagangan atau wirausaha. Klan Pedaleman ini mempunyai usaha dagang yang bisa dilihat dari beberapa toko yang dimiliki oleh orang-orang keturunan Pedaleman ini baik di Kelayu maupun luar Kelayu. Anggota klan ini juga banyak yang bergerak di bidang pekerjaan swasta. Di Kelayu sendiri salah seorang Pedaleman mempunyai toko yang bagus dan terkenal. Toko ini menyatu dengan rumah makan dan depot es yang menawarkan masakan khas Kelayu (Lombok). Toko sekaligus rumah makan ini familiar disebut Depot Kerake Bagus Rase atau hanya disebut Depot. Semua penduduk Kelayu pasti tahu Depot, orang-orang luar Kelayu yang pernah ke Kelayu mestinya juga tahu Depot. Depot adalah sebuah “kerajaan” dagang nomer satu klan Pedaleman di Kelayu.

Depot ini “berbeda” dengan toko atau kios-kios yang ada di Kelayu. Depot ini sungguh ekslusif untuk ukuran orang kampung seperti Kelayu. Hal tersebut sungguh dikesankan demikian untuk orang-orang Kelayu. Sehingga tidak heran apabila tidak ada penduduk Kelayu yang nganggur[3] sambil ngothok[4] di depan Depot. Pemilik Depot adalah salah seorang klan Pedaleman yang dihormati di Kelayu. Penduduk Kelayu menjadi segan untuk “mengganggu” klan Pedaleman dengan nganggur di Depot.

Berbeda dengan klan Pedaleman, klan Bawaq Sabo mempunyai orientasi dalam hal edukasi. Umumnya klan Bawaq sabo ini menjadi pendidik. Intelektualitas lebih dipentingkan dalam klan ini. Mereka banyak yang menjadi pegawai pemerintah, menjadi guru, dosen, ustadz, bahkan Tuan Guru di berbagai perguruan tinggi atau sekolah-sekolah negeri dan swasta di Lombok dan di Kelayu khususnya. Tuan Guru Umar – salah satu cikal bakal banyak Tuan Guru terkenal di Lombok sebagaimana diyakini penduduk Kelayu – merupakan seorang yang berasal dari klan Bawaq sabo ini.

Pengaruh Pedaleman dan Bawaq Sabo pada Masyarakat Kelayu

Suatu otoritas sosial ataupun politik umumnya memberi influence terhadap lingkungan internal dan eksternal dimana eksistensi otoritas tersebut berada. Begitu pun pada dua klan Pedaleman dan Bawaq Sabo di Kelayu. Pengaruh dari kedua klan ini sangat terlihat dalam lingkungan gubeg[5] terutama pada keluarga-keluarga yang menjadi tetangga mereka. Di sekitar tempat tinggal klan Pedaleman misalnya terdapat beberapa kegiatan perekonomian subsistensi[6] yang dikerjakan tetangga-tetangga yang ada di sekitar Pedaleman. Beberapa keluarga ini memproduksi kerupuk yang didistribusikan setiap hari bahkan sampai keluar Kelayu. Perekonomian subsistensi ini awalnya hanya dilakukan oleh klan Pedaleman dan keluarganya yang melibatkan tetangga sekitar untuk membantu, lambat laun penduduk di luar klan ini mengembangkan sendiri usaha tersebut terlepas dari ikatan kerja pada klan Pedaleman. Sekarang ini mereka bisa bersaing dengan usaha yang dilakukan oleh klan Pedaleman tersebut.

Begitu pun Bawaq Sabo, tidak sedikit memberi andil dalam intelectual oriented masyarakat di gubegnya. Bukan suatu hal yang aneh di Kelayu apabila mengetahui para pendidik baik berprofesi sebagai guru, dosen, ustadz atau Tuan Guru berasal dari Bawaq Sabo dan sekitarnya. Tidak sedikit penduduk-penduduk sekitar lingkungan Bawaq Sabo terjun ke dunia pendidikan sebagaimana patron mereka.

Pengaruh sisa-sisa feodalisme yang dicontohkan secara tidak langsung oleh dua klan tersebut, ditiru oleh sebagian penduduk Kelayu dengan membangun lingkungan tempat tinggal yang sentralistik diantara sesama anggota keluarganya. Lingkungan sentralistik demikian memang bermanfaat untuk menjaga keutuhan keluarga, namun terlepas dari itu lingkungan model itu membuat jarak dengan lingkungan (penduduk) sekitarnya.

Lingkungan tempat tinggal yang sentralistik dengan ciri-ciri fisik tembok bangunan yang tinggi serta terpisah dari lingkungan sekitarnya, dan terdapatnya pohon sawo di halaman rumah merupakan sisa-sisa feodalisme di Kelayu. Dua klan ini mempunyai banyak tanah di beberapa daerah di Kelayu. Penguasaan atas tanah ini semakin jelas menunjukkan kebangsawanan dan ciri feodalistik mereka. Kepemilikan atas tanah ini kurang begitu diperlihatkan oleh dua klan ini, kedua klan ini lebih menonjolkan peran mereka dalam dua hal seperti dibahas sebelumnya. Dua klan ini memang telah menghilangkan image feodal dengan mengganti jubah feodalistik mereka menjadi kemeja bangsawan biasa yang lebih merakyat. Di sini terlihat kebenaran pemikiran Marx mengenai tahap perkembangan masyarakat, yaitu dari sebelumnya masyarakat kuno (ancient-yang berdasar atas perbudakan atau slavery), selanjutnya menjadi feudalistic (melandaskan pada feud atau tanah), dan yang terakhir adalah masyarakat borjuasi modern, masyarakat bangsawan yang berdasar atas dasar kepemilikan modal (kapital).

Peran dua klan ini di Kelayu sungguh besar dalam membentuk wajah Kelayu yang satu sisi terkenal dengan pendidikan dan satu sisi “masyhur” dengan kegiatan-kegiatan perekonomian masyarakatnya. Para Bepek – sapaan umum yang dipakai oleh masyarakat Kelayu terhadap orang dari dua klan ini - masih tetap dihormati oleh masyarakat Kelayu. Tidak jarang mereka ini diutamakan dalam kegiatan-kegiatan sosial di Kelayu.

Menghidupkan Tradisi Lokal : Alternatif Kelayu yang Lebih Baik

Seharusnya klan Pedaleman dan Bawaq Sabo ini lebih bisa memberi arti di Kelayu tidak hanya terbatas pada dua aspek dominan – kegiatan wirausaha dan pendidikan – melainkan juga kepada aspek-aspek sosial budaya lainnya. Kegiatan-kegiatan sosial budaya misalnya kesenian sungguh mati di Kelayu. Jarang sekali ada Cilokak, Gendang Belek, atau Perisean diadakan di Kelayu meskipun ada acara-acara yang sifatnya menyangkut tradisi lokal Sasak (Kelayu). Mungkin yang masih marak adalah kegiatan kesenian yang bersifat islami seperti qasidah, toh itupun bisa dibilang stagnan; jalan di tempat, tidak ada progress yang berarti.

Kegiatan-kegiatan bersifat tradisi sungguh bermanfaat (mungkin menjadi alternatif) untuk mengakomodasikan aspirasi masyarakat Kelayu pada umumnya. Setidaknya akan mengalihkan masyarakat Kelayu dari budaya nganggur ke arah yang lebih “positif”, supaya mereka tidak menjadi generasi jalanan, yang hanya bisa nganggur dan ngothok di pinggir jalan raya dan memicu konflik. Generasi-generasi baru Kelayu pun harus diperkenalkan kepada tradisi-tradisi lokal Sasak (Kelayu), bukan pada jalan raya dan budaya-budaya rendahnya. Ruang-ruang publik budaya ini yang sekarang tidak ada di Kelayu untuk mengakomodasikan aspirasi terutama para terune bajang Kelayu. Sudah tidak layak lagi jalan raya menjadi ruang publik karena rawan memicu konflik.

Seyogyanya hal tersebut menjadi tugas dan tanggung-jawab pemuka-pemuka Kelayu khususnya seperti klan Pedaleman dan klan Bawaq Sabo serta masyarakat Kelayu pada umumnya. Salah satu caranya adalah dengan menggalakkan kembali tradisi-tradisi yang sudah tidak dikenal di Kelayu, dengan melibatkan secara aktif para remaja dan generasi-generasi baru bersama dengan tradisi agama yang memang kuat berakar di Kelayu. Klan Pedaleman dan Bawaq Sabo harus berdiri di barisan paling depan untuk menyelaraskan antara tradisi lokal Sasak (Kelayu) dengan tradisi agama (Islam). Apabila ini bisa terwujud masyarakat Kelayu masih bisa berbangga dengan predikat religius dan inteleknya tanpa embel-embel kriminal.

Terlepas dari sentimen apapun, menurut hemat saya kegiatan-kegiatan kesenian dan segala unsur-unsur tradisi patut untuk tetap digalakkan kembali. Kita lahir dan besar karena tradisi, “orang tua” sebuah komunitas adalah tradisi-tradisi yang terbentuk karena konsensus-konsensus awal masyarakatya. Apabila kita lupa atau seolah mau meninggalkan tradisi, kita layaknya durhaka dan pasti menjadi masyarakat tanpa identitas. Klan Pedaleman dan klan Bawaq Sabo harus bisa memanfaatkan posisi sosial kultural mereka di masyarakat Kelayu untuk membentuk wajah Kelayu yang memang patut dibanggakan, bukan sebentuk slogan semu yang penuh omong kosong.

Akhriyadi Sofian

Jurusan Antropologi UGM



[1] Dalam kurang lebih lima tahun ini Kelayu terpisah secara administratif – mengikuti pemberlakuan UU Otonomi Daerah tahun 2004 – pemerintahan desa antara Kelayu Utara dan Kelayu Selatan. Salah satu batas administrasi wilayahnya adalah satu-satunya jalan raya yang memisahkan Kelayu menjadi Utara dan Selatan.

[2] Pedaleman berasal dari kata dalem yang berarti dalam. Mungkin disebut demikian karena mereka tinggal di dalam pemukiman penduduk, membentuk keluarga ekslusif yang berbeda dengan penduduk sekitarnya.

[3] Nganggur adalah budaya penduduk Kelayu (dari anak kecil sampai orang tua) untuk menghabiskan waktu di pinggir jalan raya; di bok, di atas jembatan, di depan atau samping toko atau kios yang ada di pinggir jalan raya.

[4] Ngothok berarti berbincang-bincang, bersenda-gurau.

[5] Gubeg berarti kesatuan wilayah sosial politik informal yang terdiri dari beberapa RT dan RW. Masing-masing gubeg di Kelayu mempunyai jumlah RT dan RW yang berbeda didalamnya.

[6] Mengenai pereknomian subsistensi salah satunya lihat Hans Dieter Evers. Produksi Subsistensi dan “Massa Apung” Jakarta. Koentjaraningrat (penyunting). Masalah-Masalah Pembangunan. Bunga Rampai Antropologi Terapan. LP3ES : Jakarta. 1982.