Jumat, 07 Maret 2008

lovely gambilangu children of mine

inilah mereka para anak2ku yang selalu ingin ketemui.. anak2 yang menurutku wonderful,tough,cute...kalau kalian pernah mendengar Gambilangu a.k.a GBL (dibaca:ji bi el) dari sanalah mereka berasal.di sana mereka hidup.mereka adalah anak2 asli GBL,anak2 dari sebuah tempat yang dianggap "sampah"oleh sebagian besar masyarakat.tempat yang tidak mungkin mau didatangi oleh umumnya masyarakat.kalo kalian wonder or even curious where GBL is..??anyway,GBL tu letaknya di perbatasan semarang-kendal,berdampingan persis dengan terminal Mangkang Semarang.uhm,actually GBL ada yang masuk wilayah semarang dan sebagian lagi masuk wilayah kendal,honestly anak2ku yg difoto tu anak2 GBL Kendal.mereka tidak seperti anak2 kebanyakan.kehidupan mereka "keras" dalam arti yang sebenarnya.baik dari segi psikologis maupun sosial...tp walo begitu ga mematikan semangat hidup mereka untuk tetap survive n berusaha menunjukkan kemampuan mereka tidak kalah dengan anak2 yang mengalami nasib yang mungkin lebih baik dari mereka...
Nasionalisme Indonesia: Barang Dagangan atau Kendaraan Politik?
Indonesia sebagai sebuah bangsa (nation) ternyata lahir dari akibat imperialisme dan kolonialisme bangsa barat. Bahkan penemuan kata Indonesia yang kemudian kita sebut sebagai nation Indonesia merupakan ciptaan dari orang luar. Penemuan kata Indonesia tersebut terjadi pada pertengahan abad sembilanbelas yang jelas-jelas merupakan babak baru dalam imperialisme dan kolonialisme bangsa barat (Belanda) di Nusantara. Bangsa Belanda yang menjajah Indonesia menyebut tanah jajahannya dengan Indische atau Netherlands-Indie atau Hindia Belanda.
Sebagaimana dituturkan oleh Fischer, pada tahun 1850 seorang yang berbangsa Inggris Earl menyebut penduduk yang mendiami Indian Archipelago atau Malayan Archipelago dengan Indunesians, atau Malaya-nesians. Ditambahkan pula olehnya bahwa pada tahun yang sama seorang berkewarganegaraan Inggris lain bernama Logan untuk pertama kalinya menyebutnya sebagai Indonesia. Seorang Etnolog bangsa Jerman yang bernama Bastian pada tahun 1884 secara resmi memberi judul INDONESIA untuk bukunya mengenai kepulauan tersebut (dalam Stoddard, 1966: 275). Dewasa ini umumnya kita mengetahui peran dari Bastian dalam menyumbang istilah Indonesia untuk menyebut wilayah kepulauan bekas jajahan Belanda. Hal ini terlepas dari perspektif lain seperti kesamaan bahasa, ras, geopolitik, dan persamaan-persamaan lain karena akan sungguh berbeda seperti Indonesia yang kita tahu sekarang ini.
Pada dasawarsa akhir abad sembilanbelas, tepatnya ketika dimulainya pelaksanaan politik etis setelah kegagalan tanam paksa, pemahaman mengenai kebangsaan mulai tumbuh di nusantara (Indonesia) dan dipelopori oleh para kaum cendekiawan yang notabene mendapat kesempatan mengenyam pendidikan. Trilogi politik etis – menyangkut edukasi, irigasi dan imigrasi - setidaknya memberi pengaruh kepada upaya perbaikan terhadap negeri jajahan, meskipun praktiknya tetap untuk mengeruk sumber daya negeri jajahan. Belanda mempunyai peran yang tidak sedikit dalam memperkenalkan paham kebangsaan ini kepada rakyat pribumi (inlander) dengan mendirikan sekolah-sekolah untuk rakyat. Pada tahun 1893 didirikan Eerste Klass Inlandsche Scholen (Sekolah Bumiputera Angka Satu) yang dikhususkan untuk rakyat pribumi kalangan bangsawan dan priyayi, dan Tweede Klass Inlandsche Scholen (Sekolah Bumiputera Angka Dua) untuk rakyat pribumi yang miskin. Perluasan pendidikan kepada bumiputera resmi merupakan produk dari politik etis. Pendidikan ini tidak hanya untuk mendapatkan tenaga kerja yang murah bagi pemerintah dan kegiatan bisnis swasta Belanda, tetapi juga menjadi alat utama untuk “mengangkat” derajat bumiputera dan menuntun mereka menuju modernitas serta “persatuan Timur dan Barat” (Shiraishi, 1997: 37). Harus dicatat pula peran dari orang Cina baik keturunan maupun totok dalam bidang pendidikan dan kebudayaan, dengan mendirikan sekolah dan pembentukan organisasi Tionghoa pada dasawarsa awal abad duapuluh, seiring merebaknya semangat nasionalisme Cina yang dicetuskan pada tahun 1911 oleh Sun Yat Sen. Organisasi Tionghoa yang terkenal seperti THHK (Tiong Hoa Hwee Koan) mendirikan sekolah dan mendatangkan guru-guru dari Cina untuk mengajar bahasa Cina dan kebudayaan Cina bagi anak-anak Cina.
Pendirian sekolah dan organisasi baik disadari atau tidak memicu rakyat pribumi untuk melakukan pergerakan dan resistensi terhadap pemerintah yang berdaulat. Pada awal abad dua puluh, tepatnya pada 1908 muncul Boedi Oetomo sebagai organisasi pertama rakyat pribumi. Boedi Oetomo bukan sejatinya organisasi pergerakan nasional karena masih bersifat lokal (Jawa), pun Boedi Oetomo adalah organisasi sosial yang bersifat kooperatif dengan pemerintah yang berwenang. Keberadaaan Boedi Oetomo ini setidaknya merangsang organisasi-organisasi pergerakan sosial politik yang bersifat nasional seperti SI (Sarekat Islam), kemudian disusul IP (Indische Partij), Insulinde, ISDV yang kemudian menjadi PKI (Partai Komunis Indonesia), dan lain sebagainya. Harus dicatat peran sentral SI – terutama di bawah kepemimpinan Tjokroaminoto – sebagai organisasi mainstream tempat para pemimpin pergerakan menempa diri. Sebagian besar para pemimpin organisasi-organisasi pergerakan yang ada adalah kader, anggota, bahkan ketua cabang dari SI.
Benih-benih nasionalisme ini muncul dari dalam organisasi-organisasi pergerakan yang dipimpin oleh para pemimpin yang sebagian besar adalah pribumi. Benih nasionalisme tersebut mulai ditebarkan dengan isu solidaritas bumiputera untuk keadaan yang lebih baik. Senjata utama yang digunakan oleh organisasi pergerakan tersebut adalah surat kabar dan vergadering (musyawarah/pertemuan politik). Hal tersebut sangat jelas terlihat dari tulisan-tulisan di surat kabar setiap organisasi pergerakan seperti surat kabar Oetoesan Hindia (SI Surabaya), Sinar Djawa (SI Semarang), De Expres (surat kabar IP) dan lain-lain. Vergadering-vergadering yang selalu dipadati oleh rakyat adalah yang selalu dilakukan oleh SI. Para pemimpin SI dan pemimpin-pemimpin organisasi pergerakan memimpin rakyat dengan bahasa tulisan maupun lisan, dan mereka berhasil memobilisasi massa rakyat baik yang dapat membaca ataupun yang buta huruf (Shiraishi: 81). Surat kabar sebagai media komunikasi cetak menjadi alat propaganda pemimpin pergerakan untuk menyatukan seluruh elemen rakyat, menumbuhkan perasaan senasib yang ditindas dan berjuang bersama melawan penjajah.
Ben Anderson (2001: 66-67) mengungkapkan bahwa media cetak membentuk kesadaran nasional melalui tiga cara. Pertama dan terutama, media-media cetak menciptakan ajang pertukaran dan komunikasi terunifikasi antara bahasa asli (bahasa ibu) dengan bahasa latin. Bahasa yang dipakai oleh media cetak menghubungkan para pembacanya satu sama lain, lantas mulai membentuk embrio komunitas yang dibayangkan secara nasional dalam ketidakkasatmataan yang tampak (visible invisibility), sekular, partikuler. Kedua, kapitalisme cetak memberi kepastian baru kepada bahasa, yang dalam jangka panjang membantu membangun citra kepurbaan yang begitu penting bagi ide subjektif tentang bangsa. Ketiga, kapitalisme cetak menciptakan bahasa kekuasaan yang jenisnya berlainan dengan bahasa-bahasa ibu (bahasa asli) yang dipakai dalam urusan-urusan administrasi sebelumnya. Terdapat “persaingan” antara logat-logat yang banyak dan beragam untuk bisa dipakai sebagai “bahasa resmi” media cetak tersebut. Logat-logat tertentu yang lebih mendekati bahasa media cetak tersebut akan mendominasi bentuk akhir bahasa media cetak itu. Di Indonesia bahasa Melayu menjadi bahasa “resmi” yang dipakai oleh media cetak dan senyatanya mampu mendominasi bahasa-bahasa asli ataupun logat-logat yang beragam, dan ternyata diterima sebagai bahasa persatuan.
Surat kabar mempunyai posisi sentral dalam membentuk kesadaran rakyat Indonesia mengenai kebangsaan (nasionalisme). Bahasa Melayu menjadi lingua franca di kalangan para pemimpin rakyat. Tulisan dan pidato-pidato para pemimpin bangsa ditulis dalam bahasa melayu (Indonesia) sehingga tidak mengisyaratkan primordialisme suku tertentu. Bahasa Melayu (Indonesia) menjadi bahasa persatuan di kalangan rakyat jajahan Hindia Belanda, bahkan dicetuskan dalam Sumpah Pemuda[1] untuk selalu menjunjung tinggi bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia. Salah satu tulisan yang paling radikal dan mengecam pemerintah Hindia Belanda saat itu adalah tulisan dari Soewardi, yang dibuat dalam surat kabar De Express dengan judul “Als Ik een Nederlander was” (seandainya aku orang Belanda) dalam rangka memperingat perayaan seratus tahun kemerdekaan Belanda. Tulisan ini dialihbahasakan dalam bahasa Indonesia (Melayu) dan disebarkan secara luas dalam berbagai surat kabar lainnya, sehingga berbuah diasingkannya Soewardi bersama Tjipto dan Douwes Dekker dari Hindia Belanda, karena memuat kritik pedas terhadap penjajahan yang dilakukan oleh Belanda terhadap rakyat nusantara.
Nasionalisme sekarang ini sangat jauh berbeda dengan nasionalisme yang tumbuh pada zaman pergerakan. Pada zaman pergerakan seluruh rakyat disatukan oleh perasaan senasib sebagai bangsa terjajah dan berjuang untuk mengusir penjajah untuk mencapai kemerdekaan dan mempertahankan kemerdekaan. Nasionalisme dalam pengertian sekarang adalah nasionalisme menurut versi penguasa atau sekelompok pemilik modal tertentu. Nasionalisme yang seperti ini adalah nasionalisme yang tidak memihak rakyat, buta akan kepentingan rakyat, melainkan kepentingan pribadi atau kelompoknya yang diutamakan. Tidak jarang untuk mewujudkan nasionalisme menurut versi mereka, para penguasa menggunakan cara-cara represif menekan rakyat dengan dalih untuk mewujudkan rust en orde atau semacamnya.
Nasionalisme sekarang ini tidak bisa lepas dengan kemajuan dunia ilmu pengetahuan dan teknologi. Berbagai macam ideologi, doktrin dan pemahaman dapat diakses oleh seluruh rakyat melalui media massa baik cetak maupun elektronik. Segala isme tersebut bisa saja sesuai dengan ideologi bangsa kita, tetapi juga tidak menutup kemungkinan bertentangan dengan pemerintah. Informasi-informasi yang berupa isme, paham, ideologi dan sebagainya dari berbagai media massa tersebut memberikan pengetahuan dan pemahaman (alternatif) kepada rakyat disamping dari sumber “resmi” yang dapat diakses. Informasi yang tidak sesuai dengan versi negara akan selalu diupayakan untuk ditiadakan, ditindas karena akan menimbulkan resistensi terhadap pemerintahan yang berdaulat. Goenawan Mohamad (1999: 216) mengungkapkan bahwa terdapat dua cara pemerintah untuk mengontrol arus informasi yaitu dengan mengontrol media massa dan membuat informasi versi sendiri. Untuk mewujudkan dua hal ini, disebutkan pemerintah tidak segan-segan membredel, menutup, atau menghentikan media massa yang berseberangan dengan pemerintah. Kasus yang terkenal di Indonesia adalah pembredelan media cetak seperti Tempo, Detik dan Editor beberapa tahun lalu.
Tindakan represif pemerintah terhadap media massa sekarang ini tidak menunjukkan gejala seperti sebelumnya. Pemerintah seolah lebih persuasif dan kompromistis karena menyadari rakyat akan bereaksi melawan yang buntutnya akan merugikan pemerintah sendiri. Salah satu “langkah cerdik” pemerintah untuk mengontrol arus informasi dari media massa adalah dengan menggandeng para konglomerat, borjuis, atau pemilik modal. Pemerintah ikut “bermain” dalam bisnis media massa melalui konglomerat pemilik modal yang juga merupakan pemilik media massa tersebut. Tentu saja nantinya dengan kontrak-kontrak politik antara pemerintah dengan pemilik media ini yang hanya menguntungkan kedua belah pihak. Tidak heran apabila informasi-informasi yang ada adalah “pesanan” pemerintah, sedangkan keuntungan pemilik modal disini mungkin terkait dengan kemudahan birokrasi, perlindungan aset-aset, ataupun oplah atau rating yang tentu saja meningkatkan keuntungan mereka secara materi.
Media massa selalu tidak lepas dari kepentingan para penguasa (pemerintah) dan pemilik modal atau kaum borjuasi. Masing-masing pihak mempunyai kepentingan dibalik keberadaan media massa, kepentingan tersebut adalah informasi yang dimuat dalam media massa. Yasraf Amir Piliang (2004: 133) mengemukakan bahwa dalam perkembangan media mutakhir ini, setidaknya terdapat dua kepentingan utama dibalik media, yaitu kepentingan ekonomi (economic interest) dan kepentingan kekuasaan (power interest), yang membentuk isi media (media content), informasi yang disajikan, dan makna yang ditawarkan. Ditambahkan pula olehnya bahwa terdapat kepentingan publik yang terdapat diantara dua kepentingan utama tersebut yang ironisnya justru terabaikan.
Setiap warga negara atau masyarakat harusnya mampu mengontrol atau menentukan informasi di wilayah publik (public sphere) yang mereka miliki. Habermas mengungkapkan bahwa terdapat tiga bentuk kepentingan atau otoritas yang terkait dengan ruang publik, yaitu : kepentingan kaum borjuis, intelektual dan publik itu sendiri. Tiga kepentingan tersebut berlawanan dengan negara atau pemerintah (state), karena negara berkewajiban untuk menyediakan ruang publik sedang tiga hal sebelumnya berkepentingan terhadap ruang publik (dalam Piliang, 2005: 3). Namun sejatinya yang menyolok adalah ketidakberdayaan ruang publik itu sendiri, karena semua pihak memanfaatkan dan mengeksploitasi keberadaan ruang publik tersebut.
Media massa ketika dikuasai oleh pemerintah (negara) maka akan menjadi kendaraan politik para penguasa. Informasi yang ada hanyalah untuk kepentingan kelanggengan kekuasaan. Sebaliknya ketika media dikontrol oleh kaum borjuis maka yang terjadi adalah konglomerasi media, informasi yang ada hanyalah untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya berdasar atas prinsip kapitalisme.
Kepentingan ekonomi (economic interest) dan kepentingan kekuasaan (power interest) yang terdapat di media massa salah satunya tercermin dari keberadaan media massa di Indonesia, yang lebih cenderung memberitakan hal-hal terkait dengan kekuasaan; mengenai para tokoh-tokoh dan artis-artis ibukota (public figures) ataupun peristiwa yang terjadi di pusat. Sebaliknya daerah kurang mendapat sorotan media, seolah hanya menjadi pelengkap isi pemberitaan di media massa. Kurangnya pemberitaan media mengenai daerah-daerah yang jauh dari pusat kekuasaan mendorong warga yang ada di daerah terkadang membuat “sensasi” untuk bisa mendapat perhatian media. Sensasi yang dilakukan oleh warga di daerah-daerah tidak sedikit cenderung kriminal, tabu, bahkan anarkis. Anehnya, media kita pun menyukai pemberitaan yang semacam itu. Pusat harusnya peka dengan hal tersebut, karena daerah dengan segala kekurangan yang ada membutuhkan perhatian yang layak dari pusat
Kurangnya perhatian pusat terhadap daerah, sedangkan eksploitasi sumber daya alam daerah terus menerus dilakukan oleh pusat, tanpa adanya pembagian yang memuaskan daerah akan memicu konflik yang menjurus kepada desintegrasi bangsa. Konflik-konflik yang muncul banyak di daerah sangat memungkinkan untuk desintegrasi bangsa yang sungguh mengancam nasionalisme. Pada masa-masa awal kemerdekaan, sekitar tahun 1957 sampai awal tahun 1960-an, banyak terjadi desintegrasi bangsa yang bermula dari ketidakpuasan daerah atas pemerintah pusat. Desintegrasi yang tercetus lewat aksi-aksi sepihak merupakan upaya daerah untuk menarik perhatian pusat agar diakui eksistensinya, bukan sekedar minoritas yang tanpa arti.
Representasi diri (self representation) oleh daerah dan individu-individu di daerah merujuk kepada sikap apatis terhadap perlakuan pusat yang dianggap tidak adil, korup, dan sewenang-wenang. Ketidakpercayaan terhadap pusat dan orang-orang yang berkuasa bisa dilirik dari pengalaman historis masa lalu, sehingga bukan sekedar letupan pergolakan insidental semata. Selayaknya pusat lebih bijak untuk tidak menganaktirikan daerah, sehingga tidak ada lagi atau minimal berkurang porsi anarkisme dan hal-hal “rendah” yang sensasional di media, yang dilakukan daerah dan orang-orangnya hanya untuk menarik perhatian pusat (Akhriyadi Sofian).
Referensi
Anderson, Benedict. 2001. Imagined Community Komunitas-Komunitas Terbayang. Yogyakarta: Insist.
Mohamad, Goenawan. 1999. Menyalakan Lilin Dalam Kegelapan. Dalam Wardaya, F.X.Baskara T (editor). Mencari Demokrasi. Jakarta: ISAI.
Piliang, Yasraf Amir. 2004. Posrealitas: Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisika. Yogyakarta: Jalasutra.
_______ 2005. Minimalisme Ruang Publik: Budaya Publik di dalam Abad Informasi. Dalam Wibowo, Sunaryo Hadi (editor). Republik Tanpa Ruang Publik. Yogyakarta: IRE Press.
Shiraishi, Takashi. 1997. Zaman Bergerak Radikalisme Rakyat di Jawa, 1912-1926. Jakarta: Grafiti.
Stoddard, Lothrop. 1966. Pasang Naik Kulit Berwarna. Jakarta: Kantor Kementerian Koordinator Kesejahteraan.
[1] Isi Sumpah Pemuda mengenai bahasa Indonesia diselewengkan oleh Pemerintah. Sebenarnya hanya pengakuan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan bukan sebagai satu-satunya bahasa, sehingga bisa meminggirkan atau menolak keberadaan kelompok minoritas lain seperti Cina, yang merupakan WNI tetapi mungkin tidak menggunakan bahasa Indonesia dalam keseharian mereka.
HOLLYWOOD DAN AMERIKA
Tulisan ini saya ambil dari tugas mata kuliah media dan mediasi yang terkait dengan fenomena Hollywood dan komunikasi interpersonal melalui film-film buatan Hollywood.
Tujuan dari studi tentang Hollywood adalah untuk memahami dan menginterpretasikan keberadaan Hollywood itu sendiri, hubungannya dengan mimpi-mimpi yang dibuat dan dengan masyarakat kita. Pembahasan mengenai Hollywood ini dimulai dengan melihat film sebagai sebuah institusi penting dalam masyarakat. Film berperan sebagai sarana untuk memanipulasi masyarakat karena merupakan bagian dari komunikasi massa. Hal ini dianggap sebagai sebuah ciri yang unik dari kehidupan modern.
Di era tekhnologi sekarang ini, pelarian dari kegelisahan kepada film banyak dilakukan oleh orang. Sebagian orang menganggap konotasi pelarian tersebut sebagai sesuatu yang baik, namun tidak sedikit juga orang menganggapnya sesuatu yang buruk. Terlepas dari penilaian baik dan buruk, Hollywood mampu menyediakan fantasi dan mimpi-mimpi yang terdapat dalam film tersebut, yang menjadi masalah adalah apakah mimpi yang ditawarkan oleh Hollywood tersebut produktif atau tidak, ataupun audiens alias pemirsa secara psikologis kaya atau miskin.
Film mampu mengkonstruksi pengalaman-pengalaman yang pernah dialami pemirsa melalui tayangan yang diperankan oleh orang lain, dan menyajikan permasalahan-permasalahan umum masyarakat ke dalam situasi yang lebih spesifik dan personal. Termasuk bagi orang yang tidak mengenal lingkungan di luar lingkungannya, film mampu memberikan gambaran tentang orang asing, lebih jauh lagi lewat produksi-produksi filmnya Hollywood mampu memberikan gambaran kepada orang atau pemirsa tentang orang Amerika dan Amerika itu sendiri.
Berbicara mengenai Hollywood dan film-film yang diproduksinya sudah pasti tidak lepas dari wacana komunikasi massa. Komunikasi merupakan proses pengiriman pesan dari sebuah sumber kepada penerima. Proses komunikasi ini digambarkan dalam sebuah model S-M-C-R-E yang mana S (source) berarti sumber pesan, M (message) adalah pesan itu sendiri, C (channel) adalah saluran yang dipakai untuk mengirimkan pesan, R (receiver) berarti penerima pesan dan E (effects) pengaruh-pengaruh yang dtimbulkan (Rogers&Shoemaker, 1971 : 11). Hollywood tidak lepas dari proses komunikasi yang digambarkan dalam model diatas dimana Hollywood itu sendiri sebagai sumber (source) pesan, sedang pesan (message) yang dikirimkan itu adalah isu-isu tertentu, dan pengiriman pesan itu melalui saluran-saluran komunikasi (channels) berupa film, kepada penerima (receiver) yakni penonton dan nantinya akan menimbulkan pengaruh-pengaruh (effects).
Dalam tulisan Powdermaker ini, sama sekali tidak dibahas mengenai keberadaan film itu sebagai sebuah fungsi entertainment terhadap audiens atau penonton. Padahal jelas-jelas diakui oleh penulis bahwa film yang diproduksi oleh Hollywood merupakan tempat pelarian orang yang mengalami kegelisahan dengan tawaran fantasi atau mimpi yang dihadirkan dalam film. Kenapa orang yang mengalami kegelisahan dalam kehidupan (modern) dewasa ini seolah menemukan obat penawar yang ampuh atas kondisi psikologisnya dalam film?
Fungsi entertainment dari film sebagai sebuah media massa adalah salah satu fungsi komunikasi massa yang dicetuskan oleh Charles Wright sebagai fungsi tambahan dari teori yang dicetuskan oleh Harold Lasswell. Harold Lasswell menyebut bahwa terdapat tiga fungsi dari komunikasi massa. Fungsi surveillance, yaitu kemampuan media massa memberikan informasi mengenai lingkungan kita. Fungsi lainnya adalah fungsi correlation, yaitu kemampuan media massa untuk memberikan alternatif atau pilihan atas penyelesaian masalah yang ada di masyarakat. Fungsi yang terakhir adalah fungsi transmission, yaitu kemampuan media massa untuk menyebarkan atau mensosialisasikan nilai-nilai tertentu ke masyarakat (Shoemaker dan Resse, 1991 :28-29 dalam Fajar Junaedi, 2005 : 1-2). Dalam fungsi entertainment ini penonton film bisa (seolah) melupakan kegelisahan yang dihadapi. Penonton butuh hiburan, meskipun hiburan yang disajikan terkadang muluk-muluk, irasional bahkan fiktif sekalipun.
Melalui film yang diproduksi Hollywood mampu memberikan solusi atas kegelisahan yang dialami oleh orang-orang yang menonton. Dari ini kita bisa mengetahui bahwa Hollywood telah melakukan suatu proses komunikasi massa yang menurut Debra Spitulnik (1993 : 295) terdiri dari tiga tahapan yaitu memproduksi pesan, menyebarkan pesan, dan penerimaan pesan. Model komunikasi massa yang dijalankan oleh Hollywood terhadap penonton adalah model komunikasi searah atau linear. Model komunikasi linear ini hanya menempatkan penonton sebagai individu-individu yang pasif dalam proses komunikasi massa yang terjadi sebagaimana posisi penonton terhadap Hollywood lewat film-filmnya. Penonton memang cenderung merasa nyaman dengan komunikasi searah yang dijalankan oleh Hollywood karena hiburan yang ditawarkan itu menjadi obat untuk kegelisahan mereka. Model komunikasi linear ini mungkin tidak jauh berbeda dengan model one step flow yang diperkenalkan oleh Troldahl untuk menyebut proses penyebaran komunikasi yang langsung kepada audiens (penonton). Model ini merupakan penyempurnaan model jarum suntik dimana pesan yang disampaikan tidak sampai secara berbarengan kepada audiens dan pengaruh-pengaruh yang ditimbulkan juga tidak sama terhadap audiens (Troldahl, 1967 dalam Rogers&Shoemaker, 1971 : 208).
Secara signifikan Spitulnik dibagian lain dari tulisannya (1993 : 297) menjelaskan bahwa model komunikasi massa yang searah ini sudah mengalami penggerusan atau erosi karena adanya pendekatan gabungan dari semiotika dan linguistik terutama dalam proses penyebaran pesan. Audiens bukan lagi pihak yang pasif melainkan individu-individu aktif yang menerjemahkan pesan sehingga pesan itu nantinya diterima, ditolak atau dilawan berdasar atas posisi klas sosial mereka dalam masyarakat. Hal tersebut berbeda dengan hubungan yang terjalin antara Hollywood dengan penonton yang memang bersifat linear, dan uniknya meskipun sudah banyak pihak meyakini model komunikasi yang searah ini sudah tidak layak lagi karena mengindikasikan eksploitasi yang dilakukan terhadap audiens, toh penonton yang notabene sebagai pihak yang dieksploitasi tetap menikmati film-film yang dibuat Hollywood. Mimpi, fantasi, isi film yang menghibur mampu membuat penonton hanya melakukan proses konformitas, yaitu menerima dan mengkonsumsi segala yang ditawarkan oleh Hollywood. Memang inilah yang diinginkan oleh pemirsa. Setidaknya dengan menonton film, mereka bisa lari dari kegelisahan atau bahkan menjadi solusi terbaik atas permasalahan hidup (modern) yang mereka hadapi.
Banyak faktor-faktor lain yang berkontribusi kepada kegelisahan manusia modern. Kebingungan dan kegelisahan di Hollywood jauh kebih banyak daripada masyarakat yang ada di sekitarnya. Bahkan dalam periode kejayaan dimana keuntungan atau profit sangat banyak jauh melampaui kegiatan bisnis lainnya, namun tetap saja orang-orang menjadi ketakutan. Ketika pasar luar negeri berkurang, harga produksi semakin meningkat, termasuk adanya persaingan dengan film-film Eropa, ataupun adanya perubahan citarasa film boxoffice, mengakibatkan ketakutan semakin beralih ke arah kepanikan. Studio-studio tidak lagi bisa meraup keuntungan sampai seratus persen. Meskipun kondisi seperti ini diketahui masyarakat luas, namun setiap orang masih senang akan fantasi dan impian-impian untuk dirinya sendiri yang bisa didapat dalam film-film yang lucunya umumnya juga selalu menawarkan happy ending di setiap akhir film. Hal ini juga mengesankan bahwa para pembuat film hanya bisa membuat film dengan happy ending padahal jelas-jelas banyak macam ending dari film, meskipun demikian para penikmat penikmat film lebih suka film yang berakhir dengan happy ending. Bahkan solusi untuk permasalahan ending film ini meski jelas-jelas terkadang tidak realistik menjadi menyenangkan dan menghibur.
Aktifitas yang kompulsif dan hingar bingar merupakan salah satu ciri dari banyak karakteristik yang dimiliki oleh Hollywood. Karakteristik lainnya adalah evaluasi. Evaluasi ini tidak hanya menyangkut benda namun termasuk juga orang, yaitu seberapa banyak yang mereka belanjakan. Hal tersebut terefleksi dalam ide pembuatan film. Semakin banyak budget atau biaya yang dikeluarkan untuk membuat film maka akan semakin bagus film tersebut. Memang demikian tipe pemikiran yang umum di Hollywood yang meyakini korelasi antara nilai film dengan budget yang dipakai untuk biaya produksi. Semakin banyak biaya semakin menambah keyakinan studio untuk merasa lebih sukses, oleh karena itu biaya tinggi dan mahal merupakan salah satu cara untuk mengurangi kegelisahan atau kekhwatiran.
Konsep mengenai peradaban bisnis di Hollywood dibawa menuju arah yang ekstrim. Kepemilikan jauh lebih penting daripada manusia dan kemanusiaan itu sendiri. Manusia harus berjuang keras untuk menunjukkan eksistensinya. Jelas sekali siapa yang menjadi pahlawan di Hollywood, yaitu mereka yang mempunyai kekayaan yang melimpah. Anehnya, hal tersebut sangat bertolak belakang dengan gambaran yang ada di film-film Hollywood. Hartawan yang kaya hampir selalu digambarkan sebagai seorang penjahat sedang pahlawan adalah orang yang berbuat baik. Pahlawan mungkin saja seorang yang kaya, namun kekayaan mereka tidak memberi mereka status. Dalam film sering ditampilkan seorang gadis kaya yang melarikan diri bersama seorang pahlawan yang dicintainya yang notabene miskin. Hollywood lebih menampilkan cerita cinta yang sentimentil, seolah cinta itu jauh lebih penting daripada kekayaan. Kenyataanya, sebagian besar karakter di dalam film hidup dalam kemewahan yang sangat bertolak belakang dengan perannya di dalam film. Kita bisa berspekulasi mengenai hal ini bahwa memang terdapat penyimpangan motif-motif ekonomi yang lazim terjadi di masyarakat kita. Hal ini juga berarti bahwa penyimpangan tersebut disebabkan oleh sikap dan tujuan ambivalen dari para eksekutif film tersebut. Sebagaimana juga aktor, para eksektuif tersebut tidak benar-benar terpengaruh oleh nilai-nilai konflik di masyarakat. Atau mereka berpendapat bahwa motif-motif ekonomi yang dimainkan dalam film memang diharapkan oleh pemirsa. Apapun alasannya, Hollywood merepresentasikan sebuah karikatur dan lebih mengembangkan motif-motif bisnis dan kepentingan masyarakat, sementara film itu sendiri secara konsisten di bawah permainan karakteristik yang sama.
Di Hollywood tidak terdapat kebebasan bagi setiap orang untuk memilih tujuan-tujuan hidup yang diinginkan karena apapun peran dari seseorang tujuannya sudah pasti dan selalu bisnis. Di Hollywood, uang lebih penting daripada manusia. Hollywood merupakan representasi sebuah totalitarianisme. Ekonomi lebih dijadikan sebagai dasar daripada politik namun filosofinya sama dengan negara-negara totaliter. Konsep manusia sebagai makhluk yang pasif dimanipulasikan dan disebarluaskan kepada mereka yang bekerja untuk studio, ke arah hubungan sosial dan personal, kepada pemirsa, dan kepada karakter-karakter yang ada di dalam film. Konsep totalitarian manusia tidak hanya terbatas pada hubungan-hubungan antar manusia di Hollywood, namun terefleksikan juga di dalam film. Kebanyakan karakter-karakter di film, entah itu pahlawan atau penjahat bersikap pasif terhadap siapa hal-hal tersebut terjadi secara aksidental. Konsep totalitarian ini juga meluas kepada pemirsa yang mana emosi-emosi dan kegelisahan mereka dieksploitasi untuk meraup keuntungan materi. Selayaknya diktator yang mengeksploitasi masyarakat dengan alasan untuk kebaikan masyarakat itu sendiri, demikian pula seorang produser film beranggapan bahwa mereka hanya memberikan apa yang diinginkan oleh masyarakat (Akhriyadi Sofian).
Pustaka Tambahan
Junaedi, Fajar. 2005. Teori Hasil Kebudayaan. Google.
Rogers, Everett M with Shoemaker F. Floyd. 1971. Communication of Innovation. A Cross Cultural Approach. The Free Press : New York.
Spitulnik, Debra. 1993. Anthropology and Mass Media in Annual Review of Anthropology. Volume 22, page 293-315.