Senin, 03 Maret 2008

sapi untuk di-lambang



ternak sapi yang dimiliki oleh semua penduduk dukuh Rowo berfungsi sebagai tabungan hari esok mereka. di Rowo sapi tidak dipakai untuk membajak sawah,sapi hanya dipelihara untuk kemudian kalau sudah besar "dilambang".dilambang merupakan istilah penduduk setempat menyebut transaksi jual beli(barter)sapi dengan ternak (sapi)yang lain tapi yang lebih kecil dan dengan tambahan sejumlah uang sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak yang melakukan transaksi tersebut.mereka pun mendapatkan uang dari hasil melambang ternak-ternak sapi tersebut.mereka melambang ternak-ternak sapi yang mereka miliki biasanya ketika mereka benar-benar membutuhkan uang baik untuk ongkos kesehatan (biasanya melahirkan),membayar keperluaan sekolah,keperluan rumah tangga dan lain sebagainya.sapi-sapi baru yang mereka dapatkan dari hasil melambang sapi lama kemudian mereka pelihara lagi seperti sebelumnya untuk nantinya dilambang juga di kemudian hari.ternak-ternak sapi di Rowo hanya dipelihara,tidak dipakai untuk membajak sawah karena terkait dengan kondisi lanskap persawahan rowo yang landai,agak berbeda memang dengan dukuh-dukuh lain yang ada di Tlogopakis...

cool kan..

inilah para rowoers,yang selalu bergaya di setiap kesempatan.kita ga peduli dimanapun tempat kita berada,sing penting kompak,kebersamaan n surely happy duonks!dua pemuda yang merupakan para tetua yang selalu dianggap "tua"dari perspesktif usia.namun,para remaja putri itu pun secara tidak langsung mengakui(mereka tidak pernah mengakui secara berterang)bahwa kita berdua selalu berjiwa muda.soalnya kalo ga da kita,suasana mbosenin kata mereka meskipun kita juga kadang2 wagu,culun, apalagi dengan hal2 yg sifatnya "kekinian" terutama si team leader,hehehe...anyway,iam myself really gonna miss all the stupid time we spent together guys..we coloured rowo with our presence that time..all the people become cheer up..honestly they're all so great,so friendly,so welcome,so helpful,so altruistic,so wonderful...we're really gonna miss all the stupid lovely memories we carved in every single step we walked on,every single view we loved to see,every single word we heard from the polite people,every single food we had there...fantastic!!!!

rumah penduduk rowo

disamping adalah gambaran sebuah rumah penduduk Rowo.sebagian besar rumah penduduk di Rowo seperti ini.tapi memang sekarang sudah ada beberapa rumah yang telah dibangun permanen.rumah tradisional di Rowo terbuat dari papan (tidak halus) yang dibentuk sedemikian rupa untuk mengganti dinding.lantainya umumnya masih berupa tanah yang juga tidak rata.ada yang sudah memakai semen,namun masih sangat terlihat campuran tanahnya lebih banyak dari semen.atap pun umumnya dari alang-alang atau rumbia,tapi seperti digambar sudah ada yang dibuat dari seng bercampur rumbia.halaman rumah mereka tidak dipagar sepenuhnya,dan biasanya ditumbuhi oleh bunga,tanaman yang menyerupai alang-alang.halaman pun masih banyak berupa tanah dan batu yang disusun sedemikian rupa atau tidak rapi,pun di halaman dibuat jemuran untuk menjemur pakain.rata-rata penduduk di Rowo juga mempunyai ternak (sapi,kerbau) yang ditempatkan di dalam kandang yang dibangun di samping rumah.selang-selang saluran air terlihat di halaman untuk menyalurkan air dari sumber mata air untuk dikonsumsi dan dimanfaatkan untuk keperluan sehari-hari oleh seluruh keluarga.
kalau sempat melihat ke dalam rumah,rumah pasti terbagi atau tersekat dalam beberapa ruangan seperti rumah biasanya.uniknya dapur mempunyai tiga tunggu perapian yang masih memerlukan kayu untuk bahan bakarnya.di atas tunggku tersebut dibuat para untuk menaruh atau menyimpan beberapa hasil-hasil panen seperti beras,jagung.tungku api umumya dibiarkan selalu menyala(ada baranya)setiap hari-sehari semalam,yang berfungsi untuk menjaga kualitas hasil pertanian yang ditaruh di para,pun untuk menghindari kelembaban yang berlebih yang mungkin terjadi di rumah karena kondisi udara yang dingin.selain itu juga agar jamur tidak mudah tumbuh di rumah atau sekitarnya yang bisa membuat lapuk bangunan rumah,pun untuk mengusir nyamuk.anehnya memang,selama tidak di sana memang tidak pernah terasa ada nyamuk yang menggigit...

WACANA RELIGIUSITAS : MENGULIK RELIGIUSITAS KAPITALIS

Pemikiran tentang religi bukan suatu hal yang baru di jagad ilmu pengetahuan, terutama diantara teori-teori ilmu sosial. Pemikiran tentang religi tersebut pun tidak didominasi oleh satu cabang ilmu sosial tertentu. Tidak kurang ahli-ahli antropologi, sosiologi, psikologi, sejarah, filsafat, agama dan sastra banyak memberi sumbangsih teori dan pemikiran mengenai religi. Memang selanjutnya orang lebih akrab menyebut para pemikir dari berbagai disiplin ilmu sosial tersebut sebagai seorang antropolog, karena keberadaan religi tersebut yang menjadi bagian signifikan dalam khasanah ilmu antropologi. Dan memang selanjutnya antropologi yang paling serius membedah dan mendalami hal mengenai religi.

Religi di sini jangan diartikan sebagai agama pada umumnya. Secara mendasar memang religi sangat berbeda dengan agama. Agama lebih dilihat sebagai suatu keyakinan yang terlembagakan secara formal dengan aturan dan sanksi yang mengikat para pemeluknya. Agama mempunyai kitab suci yang diyakini sebagai firman tuhan yang wajib diimani oleh pemeluknya yang dibawa oleh tokoh panutan tertentu dan diyakini sebagai utusan tuhan. Menurut Koentjaraningrat (1979), hal mendasar dalam religi tersebut adalah emosi keagamaan (religious emotion). Dengan emosi keagamaan ini, manusia akan berserah diri secara total kepada kekuatan atau sesuatu yang dianggap lebih hebat dari manusia. Ditambahkan pula bahwa segala hal termasuk benda, tumbuhan, hewan, manusia akan menjadi keramat atau sacred value apabila mempunyai emosi keagamaan ini. Komponen-komponen religi lainnya seperti sistem keyakinan, sistem ritus dan upacara, peralatan ritus dan upacara serta umat akan tidak berarti tanpa adanya emosi keagamaan. Emosi keagamaan tersebut diyakini sebagai perekat utama komponen-komponen religi.

Sementara pemikiran mengenai asal-usul religi bermula dari catatan-catatan etnografi ilmuwan-ilmuwan eropa mengenai suku-suku primitif yang dianggap mempunyai kebudayaan yang masih sederhana atau rendah dibanding kebudayaan eropa. Setidaknya menurut Koentjaraningrat (1993) ada tiga pemikiran yang terkait dengan asal usul religi yaitu pertama, pemikiran yang berorientasi pada keyakinan religi atau isi dari religi; kedua, berorientasi pada sikap dari individu atau manusia terhadap religi; ketiga, berorientasi pada upacara-upacara religi. Pemikiran pertama ini tidak bisa lepas dari aspek doktrinal religi, menyangkut hal-hal yang ada di luar batas pikiran manusia atau emosi-emosi yang lebih dalam dari hal tersebut. Sebut saja konsep jiwa yang dicetuskan oleh E.B. Tylor dalam merunut asal-usul religi. Sedang pemikiran kedua ini terkait dengan sikap dari manusia terhadap kekuatan-kekuatan maha besar yang melebihi manusia. Kekuatan-kekuatan maha dahsyat tersebut menimbulkan perasaan takut sekaligus takjub kepada manusia. Konsep ketiga menafsirkan bahwa asal-usul religi tertua bisa dirunut dari ritus-ritus religi yang dilakukan oleh manusia sebagai manifestasi pengakuan terhadap sesuatu yang maha dahsyat tersebut. Ritus-ritus keagamaan yang tidak bisa dilepaskan dari lingkaran kehidupan manusia dan masih sampai sekarang dipraktikkan oleh sebagian manusia seperti ritus kelahiran, ritus kematian, ritus perkawinan, ritus potong gigi, dan lain sebagainya. Sebenarnya ketiga konsep ini tidak bisa berdiri sendiri dan diyakini mempunyai kebenaran masing-masing.

Religiusitas manusia modern: religiusitas kapitalis

Manusia cenderung untuk memanipulasi kekuatan supranatural atau makhluk halus untuk kepentingan sendiri (Havilland, terj. 1988). Upaya manusia untuk memanipulasi kekuatan supranatural atau makhluk halus termanifestasikan dalam bentuk doa, tarian, nyanyian, sesaji atau kurban. Upaya pemanipulasian kekuatan supranatural tersebut dipimpin oleh seseorang yang dianggap mempunyai kekuatan untuk berhubungan dengan makhluk halus atau kekuatan supranatural tersebut. Mereka ini adalah shaman, pendeta, kyai, dan lain sebagainya.
Tingkat religiusitas manusia dalam era global ini semakin menurun. Setidaknya itu yang diungkapkan oleh J. Van Baal, seorang antropolog Belanda. Praktik-praktik religius ortodok sebagai seorang pemeluk agama tertentu cenderung semakin ditinggalkan oleh manusia. Namun pada era digital seperti sekarang ini, kecenderungan untuk memanipulasi makhluk halus sebagai ciri religiusitas manusia masih menunjukkan relevansinya. Bedanya, religiusitas manusia sekarang ini terkait erat dengan kemajuan tekhnologi, dan ini dipakai sebagai ramuan “tokcer” upaya merepresentasikan sejauh mana tingkat religiusitas manusia tersebut.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi menawarkan kemudahan, segala hal bisa dikemas secara instan, dan simpel. Sebagaimana ciri era digital, segala hal sekarang sudah semakin maju, hampir tidak ada jarak antar manusia, semua bisa dijangkau dengan tekhnologi. Begitu juga dengan sifat hubungan transendens antara manusia dengan ‘sesuatu’ yang diakui sebagai kekuatan maha besar tersebut. Orang sekarang cenderung tidak memerlukan kehadiran an sich seorang shaman, pendeta, kyai untuk menjalankan ritual kepercayaan mereka. Kemudahan yang didapat manusia untuk mengakses segala hal melalui pemanfaatan tekhnologi seiring sejalan dengan prinsip neoliberalisme dewasa ini. Menyitir pandangan neoliberalisme, segala hal apapun itu adanya selalu dilihat dari sisi kapital, dalam artian tidak ada yang gratis, semua ada harganya. Orang hanya perlu handphone untuk berhubungan dengan tuhan lewat fasilitas short message service (sms). Orang-orang yang dianggap suci pun memfasilitasi hal tersebut, tapi sudah pasti tidak gratis. Untuk berdoa, orang sekarang harus merogoh kocek sedemikian rupa.
Sosok-sosok pembimbing spiritual sudah tidak diperlukan, tergantikan dengan tekhnologi nirkabel. Sifat komunal dalam upacara-upacara religius beralih ke bentuk visual di televisi yang bisa ditonton sendiri di rumah masing-masing. Umat sudah tidak disatukan dalam ritual-ritual religius, tempat-tempat ibadah hanya berfungsi sekali waktu; manusia cenderung ‘menyulap’ tempat tertentu, kemudian menasbihkannya menjadi tempat ibadah, untuk mengakomodasikan segelintir umat yang super sibuk dan notabene tidak punya waktu luang. Inilah realitas dari religiusitas manusia modern, religiusitas yang jauh dari tata cara ritual berbelit, kompleks, dan makan waktu. Namun, bagaimana dengan religiusitas itu sendiri yang sarat dengan sacred value atau nuansa keramat yang didasari oleh religious emotion untuk penyerahan diri kepada sang khalik. Hal ini yang tidak terdapat dalam religiusitas kapitalis dewasa ini. Religiusitas kapitalis selalu dibayangi tuntutan untuk produktif (dari perspektif untung – rugi) setiap waktu, dan dimanapun. Sudah pasti religiusitas seperti ini jauh dari sifat sakral, keramat atau sarat dengan emosi keagamaan.

Penutup

Religiusitas kapitalis yang sekarang menggejala sungguh menawarkan kemudahan kepada manusia untuk menunjukkan spiritualismenya. Religiusitas semacam ini basisnya adalah tekhnologi, namun tujuannya bukan ke arah pembentukan manusia religius, sebaliknya untuk kepentingan kapitalis. Gejala-gejala ini sudah mulai menyentuh daerah-daerah dengan invasi lewat tekhnologi. Mau tidak mau kita akan berhadapan dengan realitas demikian, atau bahkan sudah menjadi salah satu darinya/yadi.