Senin, 03 Maret 2008

WACANA RELIGIUSITAS : MENGULIK RELIGIUSITAS KAPITALIS

Pemikiran tentang religi bukan suatu hal yang baru di jagad ilmu pengetahuan, terutama diantara teori-teori ilmu sosial. Pemikiran tentang religi tersebut pun tidak didominasi oleh satu cabang ilmu sosial tertentu. Tidak kurang ahli-ahli antropologi, sosiologi, psikologi, sejarah, filsafat, agama dan sastra banyak memberi sumbangsih teori dan pemikiran mengenai religi. Memang selanjutnya orang lebih akrab menyebut para pemikir dari berbagai disiplin ilmu sosial tersebut sebagai seorang antropolog, karena keberadaan religi tersebut yang menjadi bagian signifikan dalam khasanah ilmu antropologi. Dan memang selanjutnya antropologi yang paling serius membedah dan mendalami hal mengenai religi.

Religi di sini jangan diartikan sebagai agama pada umumnya. Secara mendasar memang religi sangat berbeda dengan agama. Agama lebih dilihat sebagai suatu keyakinan yang terlembagakan secara formal dengan aturan dan sanksi yang mengikat para pemeluknya. Agama mempunyai kitab suci yang diyakini sebagai firman tuhan yang wajib diimani oleh pemeluknya yang dibawa oleh tokoh panutan tertentu dan diyakini sebagai utusan tuhan. Menurut Koentjaraningrat (1979), hal mendasar dalam religi tersebut adalah emosi keagamaan (religious emotion). Dengan emosi keagamaan ini, manusia akan berserah diri secara total kepada kekuatan atau sesuatu yang dianggap lebih hebat dari manusia. Ditambahkan pula bahwa segala hal termasuk benda, tumbuhan, hewan, manusia akan menjadi keramat atau sacred value apabila mempunyai emosi keagamaan ini. Komponen-komponen religi lainnya seperti sistem keyakinan, sistem ritus dan upacara, peralatan ritus dan upacara serta umat akan tidak berarti tanpa adanya emosi keagamaan. Emosi keagamaan tersebut diyakini sebagai perekat utama komponen-komponen religi.

Sementara pemikiran mengenai asal-usul religi bermula dari catatan-catatan etnografi ilmuwan-ilmuwan eropa mengenai suku-suku primitif yang dianggap mempunyai kebudayaan yang masih sederhana atau rendah dibanding kebudayaan eropa. Setidaknya menurut Koentjaraningrat (1993) ada tiga pemikiran yang terkait dengan asal usul religi yaitu pertama, pemikiran yang berorientasi pada keyakinan religi atau isi dari religi; kedua, berorientasi pada sikap dari individu atau manusia terhadap religi; ketiga, berorientasi pada upacara-upacara religi. Pemikiran pertama ini tidak bisa lepas dari aspek doktrinal religi, menyangkut hal-hal yang ada di luar batas pikiran manusia atau emosi-emosi yang lebih dalam dari hal tersebut. Sebut saja konsep jiwa yang dicetuskan oleh E.B. Tylor dalam merunut asal-usul religi. Sedang pemikiran kedua ini terkait dengan sikap dari manusia terhadap kekuatan-kekuatan maha besar yang melebihi manusia. Kekuatan-kekuatan maha dahsyat tersebut menimbulkan perasaan takut sekaligus takjub kepada manusia. Konsep ketiga menafsirkan bahwa asal-usul religi tertua bisa dirunut dari ritus-ritus religi yang dilakukan oleh manusia sebagai manifestasi pengakuan terhadap sesuatu yang maha dahsyat tersebut. Ritus-ritus keagamaan yang tidak bisa dilepaskan dari lingkaran kehidupan manusia dan masih sampai sekarang dipraktikkan oleh sebagian manusia seperti ritus kelahiran, ritus kematian, ritus perkawinan, ritus potong gigi, dan lain sebagainya. Sebenarnya ketiga konsep ini tidak bisa berdiri sendiri dan diyakini mempunyai kebenaran masing-masing.

Religiusitas manusia modern: religiusitas kapitalis

Manusia cenderung untuk memanipulasi kekuatan supranatural atau makhluk halus untuk kepentingan sendiri (Havilland, terj. 1988). Upaya manusia untuk memanipulasi kekuatan supranatural atau makhluk halus termanifestasikan dalam bentuk doa, tarian, nyanyian, sesaji atau kurban. Upaya pemanipulasian kekuatan supranatural tersebut dipimpin oleh seseorang yang dianggap mempunyai kekuatan untuk berhubungan dengan makhluk halus atau kekuatan supranatural tersebut. Mereka ini adalah shaman, pendeta, kyai, dan lain sebagainya.
Tingkat religiusitas manusia dalam era global ini semakin menurun. Setidaknya itu yang diungkapkan oleh J. Van Baal, seorang antropolog Belanda. Praktik-praktik religius ortodok sebagai seorang pemeluk agama tertentu cenderung semakin ditinggalkan oleh manusia. Namun pada era digital seperti sekarang ini, kecenderungan untuk memanipulasi makhluk halus sebagai ciri religiusitas manusia masih menunjukkan relevansinya. Bedanya, religiusitas manusia sekarang ini terkait erat dengan kemajuan tekhnologi, dan ini dipakai sebagai ramuan “tokcer” upaya merepresentasikan sejauh mana tingkat religiusitas manusia tersebut.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi menawarkan kemudahan, segala hal bisa dikemas secara instan, dan simpel. Sebagaimana ciri era digital, segala hal sekarang sudah semakin maju, hampir tidak ada jarak antar manusia, semua bisa dijangkau dengan tekhnologi. Begitu juga dengan sifat hubungan transendens antara manusia dengan ‘sesuatu’ yang diakui sebagai kekuatan maha besar tersebut. Orang sekarang cenderung tidak memerlukan kehadiran an sich seorang shaman, pendeta, kyai untuk menjalankan ritual kepercayaan mereka. Kemudahan yang didapat manusia untuk mengakses segala hal melalui pemanfaatan tekhnologi seiring sejalan dengan prinsip neoliberalisme dewasa ini. Menyitir pandangan neoliberalisme, segala hal apapun itu adanya selalu dilihat dari sisi kapital, dalam artian tidak ada yang gratis, semua ada harganya. Orang hanya perlu handphone untuk berhubungan dengan tuhan lewat fasilitas short message service (sms). Orang-orang yang dianggap suci pun memfasilitasi hal tersebut, tapi sudah pasti tidak gratis. Untuk berdoa, orang sekarang harus merogoh kocek sedemikian rupa.
Sosok-sosok pembimbing spiritual sudah tidak diperlukan, tergantikan dengan tekhnologi nirkabel. Sifat komunal dalam upacara-upacara religius beralih ke bentuk visual di televisi yang bisa ditonton sendiri di rumah masing-masing. Umat sudah tidak disatukan dalam ritual-ritual religius, tempat-tempat ibadah hanya berfungsi sekali waktu; manusia cenderung ‘menyulap’ tempat tertentu, kemudian menasbihkannya menjadi tempat ibadah, untuk mengakomodasikan segelintir umat yang super sibuk dan notabene tidak punya waktu luang. Inilah realitas dari religiusitas manusia modern, religiusitas yang jauh dari tata cara ritual berbelit, kompleks, dan makan waktu. Namun, bagaimana dengan religiusitas itu sendiri yang sarat dengan sacred value atau nuansa keramat yang didasari oleh religious emotion untuk penyerahan diri kepada sang khalik. Hal ini yang tidak terdapat dalam religiusitas kapitalis dewasa ini. Religiusitas kapitalis selalu dibayangi tuntutan untuk produktif (dari perspektif untung – rugi) setiap waktu, dan dimanapun. Sudah pasti religiusitas seperti ini jauh dari sifat sakral, keramat atau sarat dengan emosi keagamaan.

Penutup

Religiusitas kapitalis yang sekarang menggejala sungguh menawarkan kemudahan kepada manusia untuk menunjukkan spiritualismenya. Religiusitas semacam ini basisnya adalah tekhnologi, namun tujuannya bukan ke arah pembentukan manusia religius, sebaliknya untuk kepentingan kapitalis. Gejala-gejala ini sudah mulai menyentuh daerah-daerah dengan invasi lewat tekhnologi. Mau tidak mau kita akan berhadapan dengan realitas demikian, atau bahkan sudah menjadi salah satu darinya/yadi.

Tidak ada komentar: