Senin, 30 Juni 2008

kelayu, kampungku...kisah mu kini.

Jalan raya di Kelayu: Sebuah Konstruksi Budaya?

Jalan raya yang membelah wilayah utara dan selatan Kelayu secara tidak langsung membentuk kepribadian dan mentalitas masyarakat Kelayu. Keseharian masyarakat Kelayu tidak bisa dilepaskan dari jalan raya. Jalan raya tidak hanya sebagai fasilitas dan sarana infrastruktur masyarakat bahkan lebih dari itu jalan raya mampu mempengaruhi identitas ke-Kelayu-an masyarakatnya. Rutinitas masyarakat Kelayu sangat tergantung dari jalan raya yang memang satu-satunya jalan raya utama di Kelayu. Dalam tulisan ini jalan raya yang ada di Kelayu akan berusaha dilihat sebagai sebuah ruang publik (public sphere), tempat bertemunya atau bernegosiasinya berbagai kepentingan antar warga Kelayu yang secara langsung memberi warna terhadap kehidupan di Kelayu.

Pendahuluan

Saya teringat tahun lalu, pada malam Ramadhan, beberapa hari menjelang Lebaran. Tahun kemarin saya juga mudik – sebagaimana para pelajar dan mahasiswa Sasak (Lombok) pada umumnya – setiap tahun pada bulan Ramadhan menjelang Lebaran untuk merayakan Idul Fitri bersama seluruh keluarga. Setiap kali mudik, sudah menjadi rutinitas saya nganggur bersama teman-teman sekampung di pinggir jalan raya yang merupakan satu-satunya jalan raya utama di Kelayu. Kami sering menghabiskan waktu semalam suntuk di pinggir jalan – biasanya di bok-bok emper kios – untuk ngothok mengenai berbagai hal. Layaknya reuni memang, dengan teman-teman kampung; bercanda, berbagi cerita, terkadang dengan camilan dan sesekali bernyanyi diiringi permainan gitar “kampungan” dari salah seorang teman. Biasanya saya pribadi yang selalu diceritakan mengenai segala hal yang terjadi di Kelayu selama perantauan saya. Selama di perantauan sungguh saya akui, saya mungkin yang paling miskin menyerap informasi yang terjadi di Kelayu, bahkan kabar mengenai Lombok pada umumnya.

Malam itu memang belum larut, Tarawih baru saja selesai. Orang-orang masih banyak yang berseliweran di jalan, sementara saya bersama beberapa teman sudah nganggur di emperan salah satu kios – dalam beberapa tahun terakhir waktu mudik menjadi tempat nganggur terbaik kami – sambil memperhatikan orang-orang yang berlalu-lalang. Sebagaimana setiap malam ramadhan, Kelayu menjadi “lebih hidup” dan lebih lama terjaga setiap malamnya. Selain itu malam ini juga dikabarkan orang nomer satu di Lombok Timur mau datang dan berbicara di Masjid Al-Umari – Masjid kebanggaan orang Kelayu yang sampai sekarang belum juga selesai direkonstruksi; Masjid ini memakai nama salah satu ulama (baca: Tuan Guru) “legendaris” Kelayu yang oleh seluruh orang Kelayu diyakni menjadi cikal-bakal ulama-ulama terkenal di Lombok – sehingga lumayan menyedot banyak warga datang ke Masjid. Selepas Tarawih corong pengeras suara Masjid pun tak henti-hentinya mengajikan ayat-ayat Alquran lebih nyaring dari malam-malam biasanya. Beberapa malam sebelumnya, saya diceritakan telah terjadi pembunuhan seorang siswa yang bersaudara kembar di Selong selepas menunaikan Tarawih oleh seorang anak (remaja) dari Kelayu. Sekarang anak itu (pembunuhnya) – saya tidak ingat namanya – mendekam di penjara bersama teman-teman Kelayu yang memang masih banyak berada di penjara. Mengejutkan? Dalam tiga tahun terakhir ini hal tersebut bukan sesuatu yang menghebohkan, sudah menjadi gojekan dalam setiap obrolan di Kelayu, terutama di spot-spot nganggur Kelayu.

Pada malam tersebut pun, orang nomer satu di Lombok Timur – pernah dihebohkan pada tahun sebelumnya dengan demonstrasi para guru mengenai policy yang dikeluarkannya terkait dengan zakat fitrah – menyinggung, tepatnya menyindir mengenai peristiwa pembunuhan tersebut dan berbagai peristiwa kriminal “sejenisnya” di Lombok Timur yang melibatkan sebagian besar warga Kelayu. Beliau sambil sedikit gojek juga menyebutkan bahwa penjara sipil di Selong paling banyak dihuni oleh orang-orang Kelayu. Spontan sebagian besar yang nganggur saat itu lantas tertawa, aku pun saat itu hanya tersenyum nyinyir mendengarnya.

Selidik punya selidik, setelah mendengar cerita dari mereka yang nganggur saat itu, ternyata pembunuhnya hanya seorang seumuran siswa SMP yang berasal dari Gubug (baca: Gubeg) sebelah yang tentu saja masih berada dalam “teritori pemerintahan” Kelayu (tapi tidak jelas Kelayu Selatan atau Kelayu Utara). Dia pun seorang produk nganggur pinggir jalan, pengothok emper kios, bok, ataupun jembatan di Kelayu. Saya pribadi tidak mengenalnya, mungkin anak-anak yang seumuran dia juga pun saya tidak kenal persis. Saya lantas membandingkan dengan saat-saat saya masih sekolah di Lombok; sangat berbeda, sungguh saya tidak pernah mendengar peristiwa serupa terjadi pada saat itu. Peristiwa-peristiwa “besar” hanya seputar kecelakaan jalan raya, perkelahian, percekcokan dalam keluarga, atau pencurian ternak (sapi) yang sama sekali tidak menyebabkan terbunuhnya seseorang. Pada satu sisi, nganggur dan ngothok pinggir jalan sudah lama berlangsung di Kelayu, entah sejak kapan, mungkin sejak adanya jalan raya tersebut. Jalan raya Kelayu bukan sekedar tempat alternatif warga untuk kongkow, atau bahasa kerennya hangout, namun lebih dari itu jalan raya adalah sebuah destinasi, karena itu jalan raya menjadi sebuah ruang publik (public sphere) tempat berbagai kepentingan (apapun itu) bertemu, saling berjalin satu sama lain yang lambat laun membentuk wajah Kelayu pada setiap tahap evolusinya.

Jalan raya sebagai Ruang Publik: Otoritas dan Proses Komunikasi di Dalamnya

Berbicara tentang ruang publik (public sphere) tidak bisa dilepaskan dari sosok Habermas yang merupakan salah seorang pentolan kelompok sekolah Frankfurt yang fenomenal, setidaknya bagi penganut paham ke-sudah-an (post-ism), entah apapun itu namanya sekarang. Habermas menyebut ruang publik sebagai tempat individu-individu berinteraksi satu sama lain, melakukan percakapan atau dialog. Setiap ruang yang memungkinkan orang untuk melakukan percakapan (dialog) dengan orang lain oleh Habermas disebut sebagai ruang publik (public sphere). Habermas mendefinisikan ruang publik sebagai sebuah domain (wilayah) percakapan yang tidak memaksa berorientasi kearah sebuah keserasian pragmatis (dalam Poster, 1995: 5). Dialog yang dilakukan oleh mereka ini merupakan interaksi tatap muka atau dalam bahasa Michael Hardey adalah embodied identity, identitas kefisikan, interaksi langsung satu dengan yang lain. Embodied identity ini merupakan terjemahan dari interaksi antar individu face to face dalam suatu ruang (space) dengan meletakkan aktifitas verbal sebagai bentuk relasi utama antar sesama individu dalam ruang publik tersebut. Jalan raya di Kelayu dapat dikategorikan sebagai ruang publik yang selalu diakomodasikan oleh masyarakatnya untuk mengapresiasikan kehidupan keseharian mereka. Ruang publik yang direpresentasikan dalam wujud jalan raya ini tidak hanya dimanfaatkan oleh suatu kelompok tertentu masyarakat Kelayu melainkan sebagian besar kalau tidak seluruh masyarakatnya. Berbeda dengan berbagai tempat khususnya kota-kota besar yang mengeksploitasi jalan raya untuk berbagai kepentingan instan, jalan raya di Kelayu tidak sekedar dieksploitasi oleh masyarakatnya untuk kebutuhan sesaat, sebaliknya jalan raya itu memberi influence yang besar dalam sendi-sendi kehidupan sosial budaya masyarakat Kelayu.

Yasraf Amir Piliang (2005: 1-24) pernah menulis tentang ruang publik dan otoritas yang terbentuk oleh sekelompok orang yang memanfaatkan ruang publik tersebut. Disebutkan olehnya bahwa individu atau sekelompok individu yang memanfaatkan ruang publik tersebut lambat laun akan membentuk otoritas ruang publik sendiri sesuai dengan keinginan orang-orang yang didalamnya. Memang suatu ruang publik yang “dihuni”oleh siapapun individu-individu yang ada didalamnya akan pasti membentuk suatu otoritas berdasar atas konsensus-konsensus antar individu-individu tersebut.

Jalan raya pun demikian, lambat laun akan menjadi sebuah otoritas dari suatu kelompok sosial yang memanfaatkan jalan raya untuk membentuk sebuah otoritas publik tertentu. Otoritas yang terbentuk di jalan raya Kelayu sifatnya informal dan arbitrer, namun karena merupakan kebiasaan warga menjadikan jalan raya tersebut menjadi penting. Di sepanjang pinggir jalan raya Kelayu, terdapat spot-spot yang dipakai nganggur – istilah untuk menyebut nongkrong di pinggir jalan – oleh penduduk (umumnya laki-laki) untuk menghabiskan waktu. Kebiasaan nganggur ini dilakukan tidak kenal waktu, namun paling ramai terlihat ketika sore hari menjelang maghrib. Tempat nganggur mereka biasanya di bok-bok kios atau warung, rumah pinggir jalan, dan jembatan.

Penduduk Kelayu – tidak jarang juga perempuan – membawa anaknya nganggur di pinggir jalan, seolah pengobat kepenatan rutinitas yang dijalani seharian. Perbincangan hangat atau ngothok yang ditimpali lelucon dan “gosip-gosip” up to date kehidupan masyarakat kampung mewarnai aktifitas nganggur ini. Informasi-informasi begitu cepat tersebar diantara mereka, mengenai segala hal yang terkait dengan Kelayu, dan tentu saja para penduduknya. Di sini fungsi jalan raya secara tidak langsung bisa dilihat sebagai sumber informasi. Mungkin tidak ada rahasia di Kelayu yang tidak diperbincangkan ketika nganggur. Dalam teori komunikasi penyebaran informasi terkait dengan rumus S-M-C-R-E, yaitu S adalah source yang berarti sumber informasi, darimana informasi tersebut berasal; M adalah message atau pesan yang terdapat dalam informasi, pesan ini merupakan hal atau topik yang disampaikan; C adalah channel yaitu saluran informasi, melalui media apa informasi tersebut disampaikan; R adalah receiver alias penerima pesan, siapapun adanya entah seorang individu atau sekelompok individu; dan yang terakhir E adalah effects, merupakan pengaruh-pengaruh yang ditimbulkan oleh informasi tersebut kepada audiens, siapapun yang menerima pesan tersebut (Rogers&Shoemaker, 1971: 11).

Komunikasi dalam arti sederhana merupakan proses pengiriman pesan dari sebuah sumber kepada penerima. Hal ini juga selaras dengan Debra Spitulnik (1993: 295) yang menyebut komunikasi massa terdiri dari tiga tahapan: memproduksi pesan, menyebarkan pesan, dan penerimaan pesan. Namun dia tidak mengungkapkan mengenai pengaruh dari proses komunikasi. Setiap kali kita ngothok entah dengan nganggur di pinggir jalan atau dimanapun, sadar atau tidak kita melakukan proses komunikasi (verbal) – searah atau timbal balik – untuk menyampaikan pesan atau menerima pesan yang kemudian memberi pengaruh (effects) kepada kita. Pengaruh yang diterima setiap orang pun berbeda, yang umum adalah menolak (reject) ataupun menerima (receive) pesan tersebut.

Menurut hemat saya, proses komunikasi tidak hanya mengharuskan upaya verbal (lisan) dan embodied, bisa juga terjadi melalui tulisan (surat) bahkan lewat bahasa tubuh (body language) dalam bentuk gesture, isyarat. Nganggur sambil ngothok tentu saja merupakan proses komunikasi verbal yang embodied dengan berbagai aktifitas tertentu di dalamnya. Beteranak – momong sambil bermain-main dengan anak, bermain gitar, berjualan, memperbaiki motor adalah segelintir aktifitas komunikasi yang lumrah dilakukan orang Kelayu ketika nganggur di pinggir jalan raya. Selain itu biasanya pada malam hari, terdapat juga aktifitas sambilan lain seperti minum alkohol (mabuk). Aktifitas terakhir ini yang dewasa ini semakin marak mewarnai nganggur malam-malam di Kelayu. Tidak bisa dipungkiri hal tersebut berimplikasi negatif, mengarah kepada kriminalitas, tindakan destruktif bahkan anarkis.

Menengok Sekilas: sebuah Refleksi Waktu Kemarin

Pernah di suatu waktu yang lampau, sekitar tahun 1990-an, sebelum babak milenium baru dimasuki, sepanjang jalan tempat nganggur dan ngothok, ruang-ruang publik yang tak lain adalah jalan raya itu pernah menjadi sebuah dinding tradisi. Di balik dinding-dinding tradisi yang berdiri cukup kokoh tersebut, “dipentaskan” berbagai permainan tradisional (Kelayu); sebut saja permainan keciwe[1], bola api (khususnya pada peringatan hari-hari besar Islam seperti malam Ramadhan), sampai (gobak) sodor. Memang, sekarang jalan raya itu tidak bisa lagi menjadi tempat anak-anak untuk bermain mandi hujan, berkejaran dan slorotan di bawah guyuran air hujan tanpa takut sedikit pun ditabrak oleh kendaraan. Aneh, mungkin juga ironis, ketika mengetahui permainan-permainan tersebut tidak lagi ditemukan atau dipentaskan di ruang publik (baca: jalan raya) bahkan di tempat-tempat lainnya di Kelayu. Sebagian besar dari kita mungkin meyakini tidak akan mungkin melakukannya lagi di jalan raya, karena alasan perkembangan jaman, keselamatan ataupun dalih moral lainnya. Memang tidak salah.

Kilasan jaman begitu cepat berlalu, budaya nganggur dan ngothok di Kelayu dalam arti sebenarnya tidak berubah sama sekali. Waktu lampau jalan raya menjadi ruang publik yang otoritas di dalamnya membentuk atau mempertahankan tradisi, berganti sebuah otoritas dengan berbagai interest semu, sepihak, dan cenderung memicu konflik di masyarakat Kelayu.

Kalau merunut akar sejarah nganggur dan ngothok ini, memang sudah terbentuk sejak adanya tradisi megibung (begibeng) yang merupakan sebutan untuk makan bersama. Ketut Agung (1990: 86-87) menyebut bahwa tradisi megibung ini berawal pada saat upaya penaklukan Lombok oleh Bali (Karangasem) yang dipimpin oleh I Gusti Anglurah Ktut Karangasem. Nganggur dan ngothok dewasa ini memang masih identik dengan kumpul sambil makan dan minum secara bersama (baca: begibeng) di Kelayu. Ritual-ritual tradisional dan keagamaan di Kelayu masih mempraktikkan tradisi begibeng ini, khususnya ketika ada begawe pada saat peringatan kematian – baik pituk jelo, empatpulu jelo, satus jelo dan istilah lainnya – merarik, nyunatang, ngurisang, beburdah, gotong royong, dan sebagainya. Begibeng ini pun ada yang dilakukan dengan mangan dulang – makan langsung dengan menggunakan tangan tanpa sendok atau garpu, pada sebuah nyiru atau nare[2] besar.

Bedanya, begibeng di Kelayu sekarang ini, terutama di pinggir jalan raya diidentikkan dengan begibeng minuman keras (mabuk), ataupun begibeng merencanakan tindakan kriminal. Sinergi dengan kenyataan empirik dewasa ini, jalan raya yang merupakan ruang publik di Kelayu menjadi tidak aman lagi, nganggur dan ngothok pun hanya sebatas kumpul-kumpul mabuk, ngobrol ngalor-ngidul, menggoda para pengguna jalan (khususnya perempuan), ataupun melakukan tindakan kriminal terutama terhadap orang luar Kelayu.

Jalan raya rawan untuk memicu konflik horizontal dalam suatu masyarakat. Apapun yang ditawarkan oleh jalan raya kepada kelompok sosial manapun selalu berkonotasi buruk terhadap mayoritas masyarakat. Bangunan-bangunan sosiokultural yang merupakan hasil konsensus informal bersama pendukungnya diyakini akan sulit untuk kompromi dengan character building suatu komunitas yang sudah ajeg dan layak dalam masyarakat. Terlepas dari jalan raya tersebut dieksploitasi ataupun diakomodasikan untuk kepentingan apapun, jalan raya tetap sebuah representasi perlawanan sebagian kelompok sosial dalam suatu komunitas.

Seharusnya memang jalan raya diperuntukkan sebagai sarana infrastruktur yang disediakan negara untuk memberikan kemudahan kepada rakyatnya. Realitas empiris yang terjadi di masyarakat, jalan raya bahkan menjadi sebuah kontruksi budaya khusus yang dibangun oleh masyarakat itu sendiri. Awalnya jalan raya memang hanya sebuah sarana yang merupakan ikon pembangunan di suatu masyarakat, lambat laun menjadi besi berani yang mempunyai daya tarik magnet yang kuat untuk menarik masyarakat turun ke jalan. Senada dengan penggambaran Rudolf Mrazek (2006) bahwa jalan raya-jalan raya di seluruh Hindia Belanda sejak awal pembangunannya selalu menjadi mercusuar peradaban di sebuah negeri (jajahan-Hindia Belanda), bahkan nantinya berperan sentral dalam pembentukan nasionalisme Indonesia. Nasionalisme yang sebelumnya tidak pernah ada dalam benak rakyat jajahan, namun tiba-tiba juga muncul dari sebuah jalan raya. Jalan raya semakin mempertegas eksistensi pembangunan tersebut karena kecenderungan masyarakat untuk membangun suatu bentuk konstruksi budaya baru yaitu konsumerisme; yang bisa dilihat dari toko-toko, kios, warung, super market, dan yang sejenisnya. Di sini jalan raya berfungsi sebagai mediasi antara berbagai pihak dengan kepentingan yang beragam. Ironisnya, konstruksi konsumerisme di sepanjang jalan raya yang merupakan pilar kapitalisme dewasa ini kadung dianggap menjadi ciri khusus sebuah wilayah yang disebut urban, modern, atau bahkan established.

Di berbagai daerah hampir sama khususnya di Lombok terkait dengan keberadaan jalan raya, berbeda dengan di kota-kota besar yang notabene lebih frontal dalam menyikapi efek dari jalan raya. Efek sosial budaya yang ditimbulkan oleh jalan raya di daerah-daerah masih terbilang “bersahabat” daripada di kota-kota besar. Jalan raya di daerah masih berfungsi sebagai perekat solidaritas antar warga dalam suatu komunitas sosial pedesaan untuk menjalani hidup keseharian mereka. Sumber informasi yang up to date di pedesaan biasanya berasal dari interaksi warga di jalan raya. Sebagian besar warga di daerah “turun” ke jalan atas berbagai alasan tertentu, tidak hanya laki-laki bahkan perempuan pun begitu. Sudah pasti itu terlepas dari semakin maraknya pengaruh negatif yang sekarang muncul dengan keberadaan jalan raya, dalam konteks kehidupan yang semakin kompleks dan dinamis. Sungguh unik memang, bahkan terkesan ironis apabila melihat anak-anak dari umur balita sudah dibawa “turun” ke jalan. Setidaknya anak yang sudah diperkenalkan terhadap jalan raya dan segala fenomena yang terdapat di dalamnya akan memberi pengaruh terhadap mental dan psikis anak.

Kehidupan tidak berbeda dengan kebudayaan. Seorang proklamatir bangsa Mohamad Hatta pernah menyinggung bahwa budaya adalah hidup itu sendiri. Manusia merupakan satu-satunya pendukung utamanya, hanya manusia yang sanggup membentuk kebudayaan itu sebagaimana “tuntutan” hidupnya dalam setiap masa. Perjalanan hidup, proses budaya; selalu dinamis, berkelanjutan, dan tidak bisa dilepaskan satu dengan yang lainnya. Manusia yang berbudaya (civilized) adalah manusia yang sadar bahwa kehidupan sekarang tidak bisa dilepaskan begitu saja dari kehidupan sebelumnya. Tidak bijak apabila masa lalu ditinggalkan begitu saja, karena terdapat banyak hal yang harus dipelajari untuk kemudian diterapkan demi kemaslahatan kehidupan masa sekarang dan masa yang akan datang.

Setali tiga uang dengan keberadaan jalan raya di Kelayu, mungkin tidak ada salahnya untuk menghidupkan kembali tradisi-tradisi “jalanan” lama Kelayu, untuk mengurangi berbagai permasalahan sosial yang melibatkan sekelompok warga – umumnya remaja – yang sejujurnya adalah produk jalan raya itu sendiri. Pemerintah desa – tidak menutup kemungkinan juga pemerintah daerah – harus memikirkan untuk membangun “kantong-kantong budaya” di Kelayu, sebagai sebuah alternatif bagi warga (baca: remaja) untuk mengalihkan perhatian mereka dari jalan raya. Penting untuk mengurangi frekuensi “turun” ke jalan para remaja sehingga konflik-konflik yang menjurus ke arah kriminalitas bisa dikurangi bahkan bisa dihindarkan. Remaja perlu dibuatkan wadah untuk merealisasikan aspirasi, pengetahuan, dan talenta-talenta yang ada dalam diri mereka. Wadah ini berupa ruang-ruang publik baru selain jalan raya; dan itu bisa berupa perpustakaan, tempat kesenian, tempat olahraga, dan lain sebagainya yang bisa dibilang sangat minim di Kelayu. Tentu saja penduduk Kelayu sendiri dan pemerintah berwenang setempat yang harus mengelolanya dengan saling bekerjasama satu dengan yang lainnya.

Suatu hal yang unik namun terkadang menjadi cemoohan ketika jalan raya menjadi sebuah wadah sosiokultural suatu kelompok sosial tertentu bahkan mungkin masyarakat itu sendiri. Kalau tidak afdol menyebut banyak, kita harus berani jujur bahwa jalan raya yang umumnya berkonotasi negatif mampu melahirkan suatu konstruksi budaya sendiri pada setiap jaman. Konstruksi budaya tersebut sudah pasti dibangun oleh mereka – siapapun adanya – yang juga hidup dan tumbuh dari jalan raya tersebut dan itu terjadi di Kelayu.

Akhriyadi Sofian

Jurusan Antropologi UGM

Referensi Acuan

Ketut Agung, Anak Agung. 1991. Kupu-kupu Kuning yang Terbang di Selat Lombok Lintasan Sejarah Kerajaan Karangasem (1661-1950). Bali: Upada Sastra.

Mrazek, Rudolf. 2006. Engineers of Happy Land Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di Sebuah Koloni. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Piliang, Yasraf Amir. 2005. Minimalisme Ruang Publik: Budaya Publik di Dalam Abad Informasi. Dalam Wibowo, Sunaryo H (ed). Republik Tanpa Ruang Publik. Yogyakarta: Ire Press. Hal. 1-24.

Poster, Mark. 1995. CyberDemocracy: Internet and the Public Sphere. University of California: Irvine.

Rogers, Everett M & Shoemaker, F. Floyd. 1971. Communication of Innovations A Cross Cultural Approach. New York: Free Press.

Spitulnik, Debra. 1993. Anthropology and Mass Media. In Annual Review of Anhtropology. Volume 22, page 293-315.



[1] Keciwe merupakan sejenis permainan dakon. Keciwe dimainkan dengan terlebih dahulu membuat lubang-lubang – 5-6 lubang untuk setiap pemain – di tanah, kemudian lubang-lubang tersebut diisi masing-masing satu buah batu kecil kecuali pada lubang kepala. Selain batu, keciwe juga menggunakan sepotong kayu atau selembar daun atau sesuatu yang berbeda dengan batu untuk dijadikan kongkong yang diletakkan di dekat lubang kepala oleh masing-masing pemain. Setiap pemain yang kalah berarti yang tidak mempunyai lagi batu di dalam lubang miliknya, atau ketika kongkongnya ditindih oleh kongkong lawan.

[2] Nyiru adalah tampah tradisional yang sering dipakai untuk memisahkan beras dengan sampahnya sebelum ditanak menjadi nasi. Sedang nare adalah tampah yang terbuat dari aluminium yang sering dipakai untuk menyediakan tamu makanan dan minuman.