Sabtu, 27 Desember 2008

Konflik Naga: Pintu Masuk Pemain Baru
Tanggal 5 Desember 2008 merupakan momen yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat Singkawang. Masyarakat Singkawang ingin menjadi saksi pelaksanaan “ancaman” yang dicetuskan oleh beberapa kelompok tertentu, terkait dengan isu patung naga yang dibangun – baru separuh – di salah satu perempatan jalan tengah Kota Singkawang. Sebelumnya kelompok ini memang sempat memberi tenggat waktu sampai hari “H” apabila patung naga tersebut tidak dihancurkan maka selanjutnya akan dilakukan tindakan sepihak untuk menghancurkannya saat itu juga.
Kurang lebih selama tiga jam masyarakat Singkawang disuguhi ketegangan yang menjurus konflik horizontal. Sejatinya aksi sepihak yang akan dilakukan oleh kelompok yang memberi tenggat waktu tersebut berhadapan dengan kelompok lain yang tentu saja kontra dengan keinginan kelompok sebelumnya. Bukan suatu kebetulan juga polemik patung naga ini disikapi secara pro dan kontra antara dua kelompok yang membawa nama etnis masing-masing. Pihak yang pro akan pembangunan patung naga ini berada di bawah “bendera merah” etnis dayak (DAD/Dewan Adat Dayak), sebaliknya yang kontra dilanjutkannya pembangunan patung naga tersebut bernaung di bawah “bendera putih” etnis Melayu (FPM/Front Pembela Melayu).
Kedua kelompok mempunyai blue print yang jelas akan aksi yang dilakukan tersebut. Kelompok putih (etnis Melayu) menganggap pembangunan patung naga tersebut akan menjurus perpecahan di masyarakat karena menyimbolkan etnis tertentu di Singkawang. Ditakutkan penonjolan simbol salah satu etnis akan memicu etnis lain untuk membangun atau memunculkan simbol kelompoknya. Pihak ini beranggapan bahwa Singkawang adalah kota multietnik, bukan milik salah satu etnik tertentu. Apalagi kelompok ini mendapat “legitimasi” bahwa patung naga atau sesuatu yang menyimbolkan naga tidak boleh dibuat mainan, dalam hal ini tidak boleh dibangun atau dipasang di sembarang tempat semacam perempatan jalan. Setidaknya dalam orasi yang dilakukan oleh para wakil pihak putih ini – pada tanggal 5 desember – mengungkapkan bahwa naga adalah hewan sakral etnis Tionghoa yang tidak seharusnya diperlakukan sedemikian rupa, kecuali kalau dibangun pada tempat yang semestinya seperti di Pak Kung. Dalam orasi ini juga dikatakan sejatinya kelompok ini tidak memusuhi etnis lainnya – Tionghoa dan Dayak – melainkan hanya menentang pembangunan patung yang hanya menunjukkan keinginan pihak tertentu (baca: pemerakarsa) untuk mencari publisitas semata.
Sebaliknya kelompok merah ini pun tidak salah dengan mendukung pembangunan patung naga tersebut. Pihak ini turun ke jalan menentang FPM berlandaskan kecintaan akan Singkawang, yang menginginkan Singkawang menjadi kota Pariwisata, kota yang maju dan tentu saja nantinya berbuah kemaslahatan seluruh penduduk Singkawang. Yang terutama pihak ini tidak menginginkan adanya aksi sepihak oleh kelompok tertentu dengan mengandalkan penggalangan kekuatan (baca: massa), padahal ada pihak-pihak berwenang – seperti Pemkot dan jajaran instansinya – untuk menyelesaikan permasalahan patung tersebut. Setidaknya demikian sekilas background aksi yang dilakukan oleh dua kubu ini.
Masuknya Pemain Baru
Siapa pun orangnya yang ada di Singkawang, terutama yang sempat turun menyaksikan “letupan” tanggal 5 Desember kemarin pasti mafhum akan adanya “muka baru” yang ikut bermain di lapangan. Tidak hanya bermain sekilas semata, bahkan ikut mengambil peran kunci dalam peristiwa tersebut. Pemain baru ini berdiri sejajar dengan kelompok yang membawa “bendera putih” menolak diteruskannya pembangunan patung naga tersebut. Ribuan orang yang “tumplek” di jalan saat itu, dengan jelas melihat atribut pemain baru ini. Lucunya, atribut pemain baru ini yang satu-satunya terlihat “pongah” dengan beragam piranti lainnya – kendaraan dan sound system yang diboyong ke lapangan – selama aksi 5 Desember itu. Sebelumnya, saya berpikir kalau pemain baru ini hanya “membonceng” pihak FPM, namun kenyataan sangat berbeda di lapangan. Dimana atribut FPM? Atau apakah FPM dan koalisi LSM Singkawang ikut pemain baru ini? Atau jangan-jangan pemain baru ini (memang) merepresentasikan FPM dan salah satu agama tertentu di Singkawang?
Menilik dari peristiwa 5 Desember lalu, sudah sangat jelas menjadi momen terbaik bagi pemain baru ini untuk unjuk gigi, sekaligus memperkenalkan dirinya secara berterang di hadapan khalayak Singkawang. Dan harus diakui, pemain baru ini sukses melaksanakan perannya. Terlepas apakah itu mendapat simpati atau tidak dari penduduk Singkawang – khususnya etnis dan agama tertentu yang dianggap “diwakili” olehnya.
Pemain baru ini memang masih terlihat “sopan” dan tahu diri. Sangat berbeda dengan ulahnya di sebagian besar kota yang ada di Indonesia. Tidak ada tindakan anarkis destruktif sebagaimana biasa identik setiap pemain ini turun ke lapangan. Di Singkawang, sebelum peristiwa 5 Desember terjadi, pemain baru ini sudah memajang atribut dirinya di beberapa tempat strategis menindaklanjuti pendeklarasian yang menandai kedatangannya di Singkawang. Pemain baru ini (untungnya) masih mau berdialog dengan pemain-pemain lama yang merupakan pemilik Singkawang. Dan peristiwa 5 Desember lalu merupakan sebuah jalan masuk yang mulus bagi pemain baru ini. Satu hal yang tidak bisa lepas dari pemain baru ini adalah “kedok” agama (Islam) yang selalu dipakai olehnya, seolah merepresentasikan seluruh atau mayoritas pemeluk agama tersebut akan setiap aksinya. Apakah pemain baru ini memang merepresentasikan umat Islam (Melayu) Singkawang dalam setiap aksinya? Tidak! Namun embel-embel (Islam) yang dipakainya tetap menyisakan penasaran bagi yang nonMuslim. Apalagi umat Islam terbesar di Singkawang “kadung” diidentikkan dengan etnis Melayu, yang tentu saja memberi tanya besar bagi setiap etnis nonMelayu Singkawang.
Hanya sebuah Solusi
Peristiwa 5 Desember memang tidak berujung konflik fisik. Hal ini harus kita beri acungan jempol dan standing ovation bagi kinerja seluruh aparat Kepolisian Singkawang yang dipimpin langsung oleh Wakapolres Singkawang. Kedepannya kita harapkan memang tidak akan ada lagi intrik serupa atau konflik horizontal lainnya yang tentu saja akan dapat memporakporandakan Kota Singkawang yang kita cintai.
Belajar dari peristiwa 5 Desember tersebut, terdapat beberapa hal yang harusnya dengan sadar dan arif kita semua layak sikapi. Sebagaimana pernah diungkapkan oleh seorang tokoh besar etnis Tionghoa yang pernah dizalimi oleh etnisnya sendiri kepada saya beberapa saat setelah peristiwa tersebut terjadi. Beliau mengungkapkan bahwa kalau hanya sekedar mau berbuat untuk kepentingan (rakyat) Singkawang, kenapa dana pembangunan patung naga tersebut tidak dihibahkan untuk membantu rakyat Singkawang. Misalnya bantuan dapat diberikan ke etnis Tionghoa yang ada di bagian Selatan Singkawang, etnis Melayu yang ada di utara pun banyak yang memerlukan bantuan, atau etnis Dayak yang ada di Timur pun banyak yang senasib dengan saudara-saudara Tionghoa dan Melayu. Intinya bantuan dapat diberikan kepada semua rakyat Singkawang tanpa membedakan etnisnya, bukan dengan membuat sensasi yang hanya dapat menimbulkan konflik.
Harus diingat juga bahwa hendaknya pendekatan budaya tidak dilupakan untuk menyelesaikan konflik patung naga ini. Hal ini sebenarnya dilupakan oleh berbagai pihak, atau mungkin seolah diabaikan begitu rupa. Etnis Tionghoa mana yang tidak menganggap naga sebagai salah sebuah hewan sakral dalam kepercayaan dan mitologi leluhurnya? Dari anak-anak kecil hingga sudah peyot reyot, laki-laki atau perempuan, atau meskipun dia itu miskin atau sekaya apapun, naga bagi etnis Tionghoa merupakan sesuatu yang harus dihormati, tidak boleh dibuat main-main meskipun dengan alasan apapun. Di alam bawah sadar masyarakat Tionghoa (Singkawang) hal ini tertanam begitu mendalam. Terlalu besar resikonya menganggap remeh atau mempermainkan sesuatu yang sakral, apalagi hanya sekedar dibangun di perempatan jalan begitu rupa. Selayaknya masih harus diingat dan belajar dari peristiwa sebelumnya bahwa tidak dihormatinya naga – pernah dimainkan tanpa menjalankan prosesi ritual tertentu – mengakibatkan hal buruk bahkan kematian bagi mereka yang tidak menghormatinya. Siapa berani mengambil resiko sedemikian rupa? Apakah pengusaha tersebut yang jelas-jelas seorang Tionghoa mau menanggung resikonya? Saya rasa tidak.
Untuk semua pihak dan pemain lama di Singkawang, hendaknya sadar bahwa pemain baru sama sekali bukan representasi etnis dan agama tertentu dalam setiap aksinya. Pemain lama pun seharusnya mengambil sikap apakah mau dipakai sebagai kedok oleh pemain baru ini. Sebenarnya siapapun itu, entah etnis atau agama tertentu seharusnya memang tidak menggunakan kekerasan dalam setiap aksinya. Ini yang harus disepakati oleh semua pihak di Singkawang. Tidak susah berdialog – antara semua pihak – untuk menyelesaikan setiap konflik.
Kembali kepada pemerintah Kota Singkawang sebagai pihak yang paling berwenang. Apakah akan melanjutkan sifat dan sikap “memble” sedemikian rupa sehingga membiarkan “api” yang semula kecil kemudian membesar dan akhirnya membakar Singkawang baru bertindak? Atau mungkin Pemkot sedang kebingungan bagaimana menjadikan Singkawang menjadi Spektakuler, sehingga secara asal dan untuk kepentingan pragmatis semata melupakan budaya dan kesakralannya? Kalau memang mau “menjual” kesakralan salah satu budaya tertentu untuk tujuan wisata, tidak lantas mengabaikan aturan, prosesi, dan ritual dari budaya itu. Sebaliknya bahkan prosesi dan ritual itulah tempat nilai jual budaya tersebut. Saya yakin Pemkot pasti sudah banyak belajar dari Bali ataupun Yogya – kalau belum seharusnya segera – bagaimana mengemas sesuatu yang sakral menjadi aset wisata yang sangat menguntungkan. Bali merepresentasikan religiusitas penduduknya yang mayoritas Hindu, sedang Yogya mampu menjual model “keIslaman” rakyatnya sehingga tidak terbilang wisatawan domestik maupun manca tanpa bosan mendatangi dua tempat ini. Bali dan Yogya memang sangat berbeda dengan Singkawang. Historisnya, penduduknya, nuansanya, semuanya berbeda. Kenapa tidak mulai dari yang kecil atau sesuatu yang sudah umum namun identik dengan Singkawang? Yogya salah satunya hanya mengandalkan pohon beringin – yang disakralkan – untuk mengundang wisatawan setiap malam berkungjung ke salah satu sudut Kota Yogya tersebut.
Bagaimana dengan Singkawang? Memang tidak mudah dan tentu saja memerlukan waktu, namun tidak salah untuk mulai sekarang berusaha mewujudkannya. Dan Pemkot sebaiknya legawa dan tidak arogan kepada pihak-pihak yang tulus berbuat untuk Singkawang, bukan pihak yang hanya mencari sensasi dan publisitas semata, dan ternyata memicu konflik.