Senin, 24 Maret 2008

center-periphery

Dikotomi Center – Periphery Melalui Imperialisme Ekonomi Kultural

Dikotomi pusat dan periferi memang susah untuk dibedakan dalam kenyataan kehidupan sehari-hari. Namun hal tersebut bukan berarti tidak ada pendikotomian antara pusat dan periferi. Pusat selalu digambarkan sebagai kiblat kemajuan dan peradaban, sedang periferi merupakan daerah yang minor dan terbelakang. Persepsi pusat sebagai kiblat modernitas dibentuk oleh media, dan media ini juga yang secara tidak langsung memberi corak periferi sebagai wilayah yang tidak penting, pinggiran dan terbelakang.

Dikotomi pusat dan periferi (center-periphery) menempatkan sesuatu yang disebut center sebagai “pusat” segala hal, terutama terkait dengan informasi, pengetahuan dan kebudayaan. Pusat berarti awal, yang pertama, basis, sumber dari segala sesuatu sebaliknya periferi (pinggiran) adalah yang terbelakang, nomer dua, atau bahkan yang terakhir. Sekarang orang lebih cenderung menyebut center (pusat) sebagai wilayah urban sedang periferi (pinggiran) sebagai wilayah suburban, atau dalam isitilah umumnya adalah kutho-ndeso (kota-desa).

Wacana pusat – periferi yang mengemuka ini berimbas kepada upaya homogenisasi kultural yang tentu saja “dipaksakan” oleh pusat terhadap wilayah-wilayah yang diterjemahkan sebagai periferi. Appadurai (1999) menyebut bahwa permasalahan yang mengutama dalam interaksi global dewasa ini adalah pertentangan (tension) antara homogenisasi kultural dengan heterogenisasi kultural. Pertentangan antara homogenisasi kultural dengan heterogenisasi kultural seolah mencerminkan hubungan pusat – periferi tersebut. Penyeragaman kultural (homogenisasi kultural) yang terjadi menunjukkan dominasi pusat terhadap daerah.

Untuk membahas mengenai mediascape seperti yang diuraikan oleh Appadurai, sebaiknya membahas empat scapes lainnya karena memang terkait satu sama lain. Appadurai menyebut lima scapes tersebut sebagai lima dimensi persebaran kultural global yang terbagi dalam lima istilah yaitu ethnoscapes, mediascapes, technoscapes, finanscapes, dan ideoscapes. Ethnoscapes diartikan sebagai landscape orang yang membangun (contsruct) dunia dimana kita tinggal. Orang-orang tersebut mencakup turis, pengungsi, imigran, pekerja tamu dan kelompok-kelompok yang selalu berpindah dan orang-orang yang membangun tampilan esensial dunia. Kelompok orang-orang ini mempengaruhi politik diantara negara-negara yang bersangkutan dalam tingkatan yang tidak bisa ditebak. Technoscapes diartikan sebagai konfigurasi global, yang mengacu kepada persebaran teknologi, termasuk juga teknologi mekanis atau informatif, yang tersebar dengan sangat cepat tanpa mampu dibatasi oleh batasan (boundaries) apapun. Sedang finanscapes lebih terkait dengan peredaran arus uang (kapital). Dalam finanscapes ini kapital global disebut menjadi lebih misterius karena percepatan peredaran uang sangat susah untuk diikuti, yang berlangsung dalam pasar-pasar mata uang, national stock exchanges, atau spekulasi komoditas. Ideoscapes dan mediascapes disebut Appadurai sebagai dua hal yang tidak jauh berbeda. Ideoscapes terkait dengan images, produksi imej yang secara langsung sering dikaitkan dengan hal-hal yang sifatnya politis, menyangkut ideologi-ideologi suatu bangsa, serta gerakan-gerakan perlawanan ideologi tersebut (counter ideologies movements), yang berorientasi kepada kekuatan dan kekuasaan bangsa. Mediascapes mengacu kepada distribusi dengan menggunakan media elektronik untuk memproduksi dan mendiseminasikan informasi. Informasi yang disebarkan tergantung pada modelnya apakah dalam bentuk dokumenter atau hiburan; perangkat hardwarenya, apakah elektronik atau cetak; audiences atau khalayak apakah lokal, nasional atau bahkan transnasional; serta tergantung pada kepentingan individu yang memiliki dan mengontrol informasi tersebut (Appadurai, 1999: 222-223).

Terlepas dari Appadurai benar atau salah, di Indonesia masih berlaku dikotomi centerperiphery atau pusat – daerah. Pengetahuan dan kebudayaan yang diproduksi lewat persebaran informasi sekarang memang tidak hanya dominasi pusat, daerah pun dapat mengakses segala hal seperti layaknya pusat. Orang atau penduduk yang tinggal di daerah bisa menikmati hiburan dan informasi tidak berbeda dengan orang-orang yang tinggal di pusat. Hampir tidak ada perbedaan antara pusat dengan daerah dalam mengkonsumsi dan memperoleh modernisasi.

Center masih dipersepsikan sebagai pusat, sebagai corong peradaban (implifier of civilization), karena modernisasi dan globalisasi tumbuh dan berkembang bermula dari center, kemudian baru tersebar ke berbagai wilayah periferi. Periferi yang pertama memperoleh pengaruh globalisasi dan modernisasi dari pusat pun merupakan kawasan yang paling terdekat dengan pusat, kemudian baru wilayah periferi terjauh. Civilization yang terdapat di wilayah periferi merupakan civilization “usang” yang baru bisa diakses oleh wilayah periferi setelah out of date di wilayah pusat. Sesuatu yang out of date di wilayah pusat kemudian menjadi up to date bahkan jadi trend di wilayah periferi meskipun hampir tidak ada lagi perbedaan dalam akses terhadap teknologi terutama media informasi.

Percepatan arus informasi menembus batasan-batasan (boundaries) geografis bahkan kultural, sehingga setiap individu baik pusat ataupun daerah dapat mengkonsumsi segala hal yang ditawarkan dalam informasi yang ada tersebut. Percepatan dan kecepatan adalah ciri mendasar kapitalisme. Histeria kapitalisme ini oleh Yasraf Amir Piliang (2004: 129) sangat disarati oleh obsesi kecepatan dan percepatan; monopoli pasar, monopoli teritorial; maksimum keuntungan, minimum moralitas; maksimum nilai tukar, minimum nilai spiritual. Histeria kapitalisme menghasilkan hiperdensitas produk, akumulasi nilai surplus dan kapital, sekaligus akumulasi ketegangan, ketidakamanan, kegamangan. Kecepatan arus informasi (kapitalisme) sungguh hanya akan menimbulkan kekacauan makna. Kekacauan dan kebingungan makna tersebut akan sangat jelas terlihat di daerah (wilayah periferi), pada individu-individu setempat yang mengkonsumi informasi-informasi yang disebabkan oleh histeria kapitalisme.

Tingkat intelejensi dan intelektualitas antara individu-individu yang ada di pusat dengan wilayah periferi mungkin tidak jauh berbeda, namun terdapat beberapa hal yang terkait menyangkut pribadi-pribadi pendukung dua kebudayaan tersebut sehingga masih terdapat ruang dikotomi antara pusat – daerah. Individu-individu pendukung kebudayaan pusat mempunyai kemampuan mencipta (creation ability) yang lebih besar daripada mereka yang ada di daerah. Creation ablility tersebut didukung oleh sarana dan prasarana yang lebih lengkap yang mungkin jarang bisa didapat oleh orang-orang daerah. Hal lain yang mendukung adalah persaingan (competition) di kalangan individu-individu yang ada di pusat untuk selalu mencipta inovasi dan penemuan baru.

Penumbuhan dan pemberdayaan potensi-potensi yang ada di daerah dapat dilakukan dengan bantuan individu-individu yang ada di pusat, namun sebaiknya dilakukan oleh mereka sendiri yang ada di daerah. Namun, kenyataannya pusat pun seolah selalu berusaha mempertahankan keadaan untuk terus begitu karena sangat menguntungkan pusat. Satu sisi juga periferi seolah terlalu terlena dalam bayang-bayang dominasi pusat meskipun sangat sadar sumber daya yang dimilikinya dieksploitasi sedemikian rupa.

Dikotomi antara centerperiphery atau pusat – daerah tidak akan berlaku apabila budaya-budaya dan kekhasan daerah bisa dimunculkan dan menjadi produk yang bisa diandalkan oleh daerah untuk bisa bersaing dengan pusat. Pemberdayaan individu-individu pendukung kebudayaan daerah harus menjadi perhatian sehingga bisa menjadi inovatif dan kompetitif dengan mereka yang di pusat. Apabila hal ini terjadi maka tidak ada lagi atau setidaknya berkurang sifat ketergantungan (dependency) kawasan periferi terhadap center.

Ketergantungan (dependency) adalah salah satu cara yang dipakai oleh pusat untuk mempertahankan hubungan struktural dengan daerah. Sifat ketergantungan ini merupakan wujud imperialisme yang dilakukan oleh pusat terhadap daerah. Imperialisme ekonomi – kultural melalui politik ketergantungan terhadap pusat dapat mematikan potensi-potensi yang ada di daerah.

Imperialisme ekonomi kultural yang dipraktikkan oleh pusat terhadap daerah sangat sukses melalui penciptaan berhala image dalam wujud produk-produk kapitalis. Imagology, proses pembentukan image atau citra terhadap suatu produk sukses apabila produk-produk tersebut diminati, dikonsumsi, hingga terjadi ketergantungan (dependency) terhadapnya. Imagology oleh pusat ini sangat tampak dalam bentuk komodifikasi kultural, dimana segala sesuatu dinilai dari persepsi borjuis-kapitalis, selalu dalam kerangka untung-rugi. Peran media baik cetak maupun elektronik sangat esensial untuk pembentukan citra pusat yang tanpa cela, domain kesenangan, sumber harapan, sekaligus powerful dalam otoritas. Homogenisasi konsumsi masyarakat terhadap produk-produk yang dicitrakan oleh media menjadi salah satu bukti keberhasilan imperialisme ekonomi kultural oleh pusat terhadap daerah/yadi.

Referensi

Appadurai, Arjun. 1999. Disjuncture and Difference in the Global Cultural Economy. Dalam Nicolaas Warouw (editor). 2007. Silabus Kuliah dan Bacaan Pendekatan Etnografi Media. Yogyakarta: Sekolah Pasca Sarjana UGM.

Piliang, Yasraf Amir. 2004. Posrealitas: Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisika. Yogyakarta: Jalasutra.