Jumat, 07 Maret 2008

HOLLYWOOD DAN AMERIKA
Tulisan ini saya ambil dari tugas mata kuliah media dan mediasi yang terkait dengan fenomena Hollywood dan komunikasi interpersonal melalui film-film buatan Hollywood.
Tujuan dari studi tentang Hollywood adalah untuk memahami dan menginterpretasikan keberadaan Hollywood itu sendiri, hubungannya dengan mimpi-mimpi yang dibuat dan dengan masyarakat kita. Pembahasan mengenai Hollywood ini dimulai dengan melihat film sebagai sebuah institusi penting dalam masyarakat. Film berperan sebagai sarana untuk memanipulasi masyarakat karena merupakan bagian dari komunikasi massa. Hal ini dianggap sebagai sebuah ciri yang unik dari kehidupan modern.
Di era tekhnologi sekarang ini, pelarian dari kegelisahan kepada film banyak dilakukan oleh orang. Sebagian orang menganggap konotasi pelarian tersebut sebagai sesuatu yang baik, namun tidak sedikit juga orang menganggapnya sesuatu yang buruk. Terlepas dari penilaian baik dan buruk, Hollywood mampu menyediakan fantasi dan mimpi-mimpi yang terdapat dalam film tersebut, yang menjadi masalah adalah apakah mimpi yang ditawarkan oleh Hollywood tersebut produktif atau tidak, ataupun audiens alias pemirsa secara psikologis kaya atau miskin.
Film mampu mengkonstruksi pengalaman-pengalaman yang pernah dialami pemirsa melalui tayangan yang diperankan oleh orang lain, dan menyajikan permasalahan-permasalahan umum masyarakat ke dalam situasi yang lebih spesifik dan personal. Termasuk bagi orang yang tidak mengenal lingkungan di luar lingkungannya, film mampu memberikan gambaran tentang orang asing, lebih jauh lagi lewat produksi-produksi filmnya Hollywood mampu memberikan gambaran kepada orang atau pemirsa tentang orang Amerika dan Amerika itu sendiri.
Berbicara mengenai Hollywood dan film-film yang diproduksinya sudah pasti tidak lepas dari wacana komunikasi massa. Komunikasi merupakan proses pengiriman pesan dari sebuah sumber kepada penerima. Proses komunikasi ini digambarkan dalam sebuah model S-M-C-R-E yang mana S (source) berarti sumber pesan, M (message) adalah pesan itu sendiri, C (channel) adalah saluran yang dipakai untuk mengirimkan pesan, R (receiver) berarti penerima pesan dan E (effects) pengaruh-pengaruh yang dtimbulkan (Rogers&Shoemaker, 1971 : 11). Hollywood tidak lepas dari proses komunikasi yang digambarkan dalam model diatas dimana Hollywood itu sendiri sebagai sumber (source) pesan, sedang pesan (message) yang dikirimkan itu adalah isu-isu tertentu, dan pengiriman pesan itu melalui saluran-saluran komunikasi (channels) berupa film, kepada penerima (receiver) yakni penonton dan nantinya akan menimbulkan pengaruh-pengaruh (effects).
Dalam tulisan Powdermaker ini, sama sekali tidak dibahas mengenai keberadaan film itu sebagai sebuah fungsi entertainment terhadap audiens atau penonton. Padahal jelas-jelas diakui oleh penulis bahwa film yang diproduksi oleh Hollywood merupakan tempat pelarian orang yang mengalami kegelisahan dengan tawaran fantasi atau mimpi yang dihadirkan dalam film. Kenapa orang yang mengalami kegelisahan dalam kehidupan (modern) dewasa ini seolah menemukan obat penawar yang ampuh atas kondisi psikologisnya dalam film?
Fungsi entertainment dari film sebagai sebuah media massa adalah salah satu fungsi komunikasi massa yang dicetuskan oleh Charles Wright sebagai fungsi tambahan dari teori yang dicetuskan oleh Harold Lasswell. Harold Lasswell menyebut bahwa terdapat tiga fungsi dari komunikasi massa. Fungsi surveillance, yaitu kemampuan media massa memberikan informasi mengenai lingkungan kita. Fungsi lainnya adalah fungsi correlation, yaitu kemampuan media massa untuk memberikan alternatif atau pilihan atas penyelesaian masalah yang ada di masyarakat. Fungsi yang terakhir adalah fungsi transmission, yaitu kemampuan media massa untuk menyebarkan atau mensosialisasikan nilai-nilai tertentu ke masyarakat (Shoemaker dan Resse, 1991 :28-29 dalam Fajar Junaedi, 2005 : 1-2). Dalam fungsi entertainment ini penonton film bisa (seolah) melupakan kegelisahan yang dihadapi. Penonton butuh hiburan, meskipun hiburan yang disajikan terkadang muluk-muluk, irasional bahkan fiktif sekalipun.
Melalui film yang diproduksi Hollywood mampu memberikan solusi atas kegelisahan yang dialami oleh orang-orang yang menonton. Dari ini kita bisa mengetahui bahwa Hollywood telah melakukan suatu proses komunikasi massa yang menurut Debra Spitulnik (1993 : 295) terdiri dari tiga tahapan yaitu memproduksi pesan, menyebarkan pesan, dan penerimaan pesan. Model komunikasi massa yang dijalankan oleh Hollywood terhadap penonton adalah model komunikasi searah atau linear. Model komunikasi linear ini hanya menempatkan penonton sebagai individu-individu yang pasif dalam proses komunikasi massa yang terjadi sebagaimana posisi penonton terhadap Hollywood lewat film-filmnya. Penonton memang cenderung merasa nyaman dengan komunikasi searah yang dijalankan oleh Hollywood karena hiburan yang ditawarkan itu menjadi obat untuk kegelisahan mereka. Model komunikasi linear ini mungkin tidak jauh berbeda dengan model one step flow yang diperkenalkan oleh Troldahl untuk menyebut proses penyebaran komunikasi yang langsung kepada audiens (penonton). Model ini merupakan penyempurnaan model jarum suntik dimana pesan yang disampaikan tidak sampai secara berbarengan kepada audiens dan pengaruh-pengaruh yang ditimbulkan juga tidak sama terhadap audiens (Troldahl, 1967 dalam Rogers&Shoemaker, 1971 : 208).
Secara signifikan Spitulnik dibagian lain dari tulisannya (1993 : 297) menjelaskan bahwa model komunikasi massa yang searah ini sudah mengalami penggerusan atau erosi karena adanya pendekatan gabungan dari semiotika dan linguistik terutama dalam proses penyebaran pesan. Audiens bukan lagi pihak yang pasif melainkan individu-individu aktif yang menerjemahkan pesan sehingga pesan itu nantinya diterima, ditolak atau dilawan berdasar atas posisi klas sosial mereka dalam masyarakat. Hal tersebut berbeda dengan hubungan yang terjalin antara Hollywood dengan penonton yang memang bersifat linear, dan uniknya meskipun sudah banyak pihak meyakini model komunikasi yang searah ini sudah tidak layak lagi karena mengindikasikan eksploitasi yang dilakukan terhadap audiens, toh penonton yang notabene sebagai pihak yang dieksploitasi tetap menikmati film-film yang dibuat Hollywood. Mimpi, fantasi, isi film yang menghibur mampu membuat penonton hanya melakukan proses konformitas, yaitu menerima dan mengkonsumsi segala yang ditawarkan oleh Hollywood. Memang inilah yang diinginkan oleh pemirsa. Setidaknya dengan menonton film, mereka bisa lari dari kegelisahan atau bahkan menjadi solusi terbaik atas permasalahan hidup (modern) yang mereka hadapi.
Banyak faktor-faktor lain yang berkontribusi kepada kegelisahan manusia modern. Kebingungan dan kegelisahan di Hollywood jauh kebih banyak daripada masyarakat yang ada di sekitarnya. Bahkan dalam periode kejayaan dimana keuntungan atau profit sangat banyak jauh melampaui kegiatan bisnis lainnya, namun tetap saja orang-orang menjadi ketakutan. Ketika pasar luar negeri berkurang, harga produksi semakin meningkat, termasuk adanya persaingan dengan film-film Eropa, ataupun adanya perubahan citarasa film boxoffice, mengakibatkan ketakutan semakin beralih ke arah kepanikan. Studio-studio tidak lagi bisa meraup keuntungan sampai seratus persen. Meskipun kondisi seperti ini diketahui masyarakat luas, namun setiap orang masih senang akan fantasi dan impian-impian untuk dirinya sendiri yang bisa didapat dalam film-film yang lucunya umumnya juga selalu menawarkan happy ending di setiap akhir film. Hal ini juga mengesankan bahwa para pembuat film hanya bisa membuat film dengan happy ending padahal jelas-jelas banyak macam ending dari film, meskipun demikian para penikmat penikmat film lebih suka film yang berakhir dengan happy ending. Bahkan solusi untuk permasalahan ending film ini meski jelas-jelas terkadang tidak realistik menjadi menyenangkan dan menghibur.
Aktifitas yang kompulsif dan hingar bingar merupakan salah satu ciri dari banyak karakteristik yang dimiliki oleh Hollywood. Karakteristik lainnya adalah evaluasi. Evaluasi ini tidak hanya menyangkut benda namun termasuk juga orang, yaitu seberapa banyak yang mereka belanjakan. Hal tersebut terefleksi dalam ide pembuatan film. Semakin banyak budget atau biaya yang dikeluarkan untuk membuat film maka akan semakin bagus film tersebut. Memang demikian tipe pemikiran yang umum di Hollywood yang meyakini korelasi antara nilai film dengan budget yang dipakai untuk biaya produksi. Semakin banyak biaya semakin menambah keyakinan studio untuk merasa lebih sukses, oleh karena itu biaya tinggi dan mahal merupakan salah satu cara untuk mengurangi kegelisahan atau kekhwatiran.
Konsep mengenai peradaban bisnis di Hollywood dibawa menuju arah yang ekstrim. Kepemilikan jauh lebih penting daripada manusia dan kemanusiaan itu sendiri. Manusia harus berjuang keras untuk menunjukkan eksistensinya. Jelas sekali siapa yang menjadi pahlawan di Hollywood, yaitu mereka yang mempunyai kekayaan yang melimpah. Anehnya, hal tersebut sangat bertolak belakang dengan gambaran yang ada di film-film Hollywood. Hartawan yang kaya hampir selalu digambarkan sebagai seorang penjahat sedang pahlawan adalah orang yang berbuat baik. Pahlawan mungkin saja seorang yang kaya, namun kekayaan mereka tidak memberi mereka status. Dalam film sering ditampilkan seorang gadis kaya yang melarikan diri bersama seorang pahlawan yang dicintainya yang notabene miskin. Hollywood lebih menampilkan cerita cinta yang sentimentil, seolah cinta itu jauh lebih penting daripada kekayaan. Kenyataanya, sebagian besar karakter di dalam film hidup dalam kemewahan yang sangat bertolak belakang dengan perannya di dalam film. Kita bisa berspekulasi mengenai hal ini bahwa memang terdapat penyimpangan motif-motif ekonomi yang lazim terjadi di masyarakat kita. Hal ini juga berarti bahwa penyimpangan tersebut disebabkan oleh sikap dan tujuan ambivalen dari para eksekutif film tersebut. Sebagaimana juga aktor, para eksektuif tersebut tidak benar-benar terpengaruh oleh nilai-nilai konflik di masyarakat. Atau mereka berpendapat bahwa motif-motif ekonomi yang dimainkan dalam film memang diharapkan oleh pemirsa. Apapun alasannya, Hollywood merepresentasikan sebuah karikatur dan lebih mengembangkan motif-motif bisnis dan kepentingan masyarakat, sementara film itu sendiri secara konsisten di bawah permainan karakteristik yang sama.
Di Hollywood tidak terdapat kebebasan bagi setiap orang untuk memilih tujuan-tujuan hidup yang diinginkan karena apapun peran dari seseorang tujuannya sudah pasti dan selalu bisnis. Di Hollywood, uang lebih penting daripada manusia. Hollywood merupakan representasi sebuah totalitarianisme. Ekonomi lebih dijadikan sebagai dasar daripada politik namun filosofinya sama dengan negara-negara totaliter. Konsep manusia sebagai makhluk yang pasif dimanipulasikan dan disebarluaskan kepada mereka yang bekerja untuk studio, ke arah hubungan sosial dan personal, kepada pemirsa, dan kepada karakter-karakter yang ada di dalam film. Konsep totalitarian manusia tidak hanya terbatas pada hubungan-hubungan antar manusia di Hollywood, namun terefleksikan juga di dalam film. Kebanyakan karakter-karakter di film, entah itu pahlawan atau penjahat bersikap pasif terhadap siapa hal-hal tersebut terjadi secara aksidental. Konsep totalitarian ini juga meluas kepada pemirsa yang mana emosi-emosi dan kegelisahan mereka dieksploitasi untuk meraup keuntungan materi. Selayaknya diktator yang mengeksploitasi masyarakat dengan alasan untuk kebaikan masyarakat itu sendiri, demikian pula seorang produser film beranggapan bahwa mereka hanya memberikan apa yang diinginkan oleh masyarakat (Akhriyadi Sofian).
Pustaka Tambahan
Junaedi, Fajar. 2005. Teori Hasil Kebudayaan. Google.
Rogers, Everett M with Shoemaker F. Floyd. 1971. Communication of Innovation. A Cross Cultural Approach. The Free Press : New York.
Spitulnik, Debra. 1993. Anthropology and Mass Media in Annual Review of Anthropology. Volume 22, page 293-315.

Tidak ada komentar: