Jumat, 07 Maret 2008

Nasionalisme Indonesia: Barang Dagangan atau Kendaraan Politik?
Indonesia sebagai sebuah bangsa (nation) ternyata lahir dari akibat imperialisme dan kolonialisme bangsa barat. Bahkan penemuan kata Indonesia yang kemudian kita sebut sebagai nation Indonesia merupakan ciptaan dari orang luar. Penemuan kata Indonesia tersebut terjadi pada pertengahan abad sembilanbelas yang jelas-jelas merupakan babak baru dalam imperialisme dan kolonialisme bangsa barat (Belanda) di Nusantara. Bangsa Belanda yang menjajah Indonesia menyebut tanah jajahannya dengan Indische atau Netherlands-Indie atau Hindia Belanda.
Sebagaimana dituturkan oleh Fischer, pada tahun 1850 seorang yang berbangsa Inggris Earl menyebut penduduk yang mendiami Indian Archipelago atau Malayan Archipelago dengan Indunesians, atau Malaya-nesians. Ditambahkan pula olehnya bahwa pada tahun yang sama seorang berkewarganegaraan Inggris lain bernama Logan untuk pertama kalinya menyebutnya sebagai Indonesia. Seorang Etnolog bangsa Jerman yang bernama Bastian pada tahun 1884 secara resmi memberi judul INDONESIA untuk bukunya mengenai kepulauan tersebut (dalam Stoddard, 1966: 275). Dewasa ini umumnya kita mengetahui peran dari Bastian dalam menyumbang istilah Indonesia untuk menyebut wilayah kepulauan bekas jajahan Belanda. Hal ini terlepas dari perspektif lain seperti kesamaan bahasa, ras, geopolitik, dan persamaan-persamaan lain karena akan sungguh berbeda seperti Indonesia yang kita tahu sekarang ini.
Pada dasawarsa akhir abad sembilanbelas, tepatnya ketika dimulainya pelaksanaan politik etis setelah kegagalan tanam paksa, pemahaman mengenai kebangsaan mulai tumbuh di nusantara (Indonesia) dan dipelopori oleh para kaum cendekiawan yang notabene mendapat kesempatan mengenyam pendidikan. Trilogi politik etis – menyangkut edukasi, irigasi dan imigrasi - setidaknya memberi pengaruh kepada upaya perbaikan terhadap negeri jajahan, meskipun praktiknya tetap untuk mengeruk sumber daya negeri jajahan. Belanda mempunyai peran yang tidak sedikit dalam memperkenalkan paham kebangsaan ini kepada rakyat pribumi (inlander) dengan mendirikan sekolah-sekolah untuk rakyat. Pada tahun 1893 didirikan Eerste Klass Inlandsche Scholen (Sekolah Bumiputera Angka Satu) yang dikhususkan untuk rakyat pribumi kalangan bangsawan dan priyayi, dan Tweede Klass Inlandsche Scholen (Sekolah Bumiputera Angka Dua) untuk rakyat pribumi yang miskin. Perluasan pendidikan kepada bumiputera resmi merupakan produk dari politik etis. Pendidikan ini tidak hanya untuk mendapatkan tenaga kerja yang murah bagi pemerintah dan kegiatan bisnis swasta Belanda, tetapi juga menjadi alat utama untuk “mengangkat” derajat bumiputera dan menuntun mereka menuju modernitas serta “persatuan Timur dan Barat” (Shiraishi, 1997: 37). Harus dicatat pula peran dari orang Cina baik keturunan maupun totok dalam bidang pendidikan dan kebudayaan, dengan mendirikan sekolah dan pembentukan organisasi Tionghoa pada dasawarsa awal abad duapuluh, seiring merebaknya semangat nasionalisme Cina yang dicetuskan pada tahun 1911 oleh Sun Yat Sen. Organisasi Tionghoa yang terkenal seperti THHK (Tiong Hoa Hwee Koan) mendirikan sekolah dan mendatangkan guru-guru dari Cina untuk mengajar bahasa Cina dan kebudayaan Cina bagi anak-anak Cina.
Pendirian sekolah dan organisasi baik disadari atau tidak memicu rakyat pribumi untuk melakukan pergerakan dan resistensi terhadap pemerintah yang berdaulat. Pada awal abad dua puluh, tepatnya pada 1908 muncul Boedi Oetomo sebagai organisasi pertama rakyat pribumi. Boedi Oetomo bukan sejatinya organisasi pergerakan nasional karena masih bersifat lokal (Jawa), pun Boedi Oetomo adalah organisasi sosial yang bersifat kooperatif dengan pemerintah yang berwenang. Keberadaaan Boedi Oetomo ini setidaknya merangsang organisasi-organisasi pergerakan sosial politik yang bersifat nasional seperti SI (Sarekat Islam), kemudian disusul IP (Indische Partij), Insulinde, ISDV yang kemudian menjadi PKI (Partai Komunis Indonesia), dan lain sebagainya. Harus dicatat peran sentral SI – terutama di bawah kepemimpinan Tjokroaminoto – sebagai organisasi mainstream tempat para pemimpin pergerakan menempa diri. Sebagian besar para pemimpin organisasi-organisasi pergerakan yang ada adalah kader, anggota, bahkan ketua cabang dari SI.
Benih-benih nasionalisme ini muncul dari dalam organisasi-organisasi pergerakan yang dipimpin oleh para pemimpin yang sebagian besar adalah pribumi. Benih nasionalisme tersebut mulai ditebarkan dengan isu solidaritas bumiputera untuk keadaan yang lebih baik. Senjata utama yang digunakan oleh organisasi pergerakan tersebut adalah surat kabar dan vergadering (musyawarah/pertemuan politik). Hal tersebut sangat jelas terlihat dari tulisan-tulisan di surat kabar setiap organisasi pergerakan seperti surat kabar Oetoesan Hindia (SI Surabaya), Sinar Djawa (SI Semarang), De Expres (surat kabar IP) dan lain-lain. Vergadering-vergadering yang selalu dipadati oleh rakyat adalah yang selalu dilakukan oleh SI. Para pemimpin SI dan pemimpin-pemimpin organisasi pergerakan memimpin rakyat dengan bahasa tulisan maupun lisan, dan mereka berhasil memobilisasi massa rakyat baik yang dapat membaca ataupun yang buta huruf (Shiraishi: 81). Surat kabar sebagai media komunikasi cetak menjadi alat propaganda pemimpin pergerakan untuk menyatukan seluruh elemen rakyat, menumbuhkan perasaan senasib yang ditindas dan berjuang bersama melawan penjajah.
Ben Anderson (2001: 66-67) mengungkapkan bahwa media cetak membentuk kesadaran nasional melalui tiga cara. Pertama dan terutama, media-media cetak menciptakan ajang pertukaran dan komunikasi terunifikasi antara bahasa asli (bahasa ibu) dengan bahasa latin. Bahasa yang dipakai oleh media cetak menghubungkan para pembacanya satu sama lain, lantas mulai membentuk embrio komunitas yang dibayangkan secara nasional dalam ketidakkasatmataan yang tampak (visible invisibility), sekular, partikuler. Kedua, kapitalisme cetak memberi kepastian baru kepada bahasa, yang dalam jangka panjang membantu membangun citra kepurbaan yang begitu penting bagi ide subjektif tentang bangsa. Ketiga, kapitalisme cetak menciptakan bahasa kekuasaan yang jenisnya berlainan dengan bahasa-bahasa ibu (bahasa asli) yang dipakai dalam urusan-urusan administrasi sebelumnya. Terdapat “persaingan” antara logat-logat yang banyak dan beragam untuk bisa dipakai sebagai “bahasa resmi” media cetak tersebut. Logat-logat tertentu yang lebih mendekati bahasa media cetak tersebut akan mendominasi bentuk akhir bahasa media cetak itu. Di Indonesia bahasa Melayu menjadi bahasa “resmi” yang dipakai oleh media cetak dan senyatanya mampu mendominasi bahasa-bahasa asli ataupun logat-logat yang beragam, dan ternyata diterima sebagai bahasa persatuan.
Surat kabar mempunyai posisi sentral dalam membentuk kesadaran rakyat Indonesia mengenai kebangsaan (nasionalisme). Bahasa Melayu menjadi lingua franca di kalangan para pemimpin rakyat. Tulisan dan pidato-pidato para pemimpin bangsa ditulis dalam bahasa melayu (Indonesia) sehingga tidak mengisyaratkan primordialisme suku tertentu. Bahasa Melayu (Indonesia) menjadi bahasa persatuan di kalangan rakyat jajahan Hindia Belanda, bahkan dicetuskan dalam Sumpah Pemuda[1] untuk selalu menjunjung tinggi bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia. Salah satu tulisan yang paling radikal dan mengecam pemerintah Hindia Belanda saat itu adalah tulisan dari Soewardi, yang dibuat dalam surat kabar De Express dengan judul “Als Ik een Nederlander was” (seandainya aku orang Belanda) dalam rangka memperingat perayaan seratus tahun kemerdekaan Belanda. Tulisan ini dialihbahasakan dalam bahasa Indonesia (Melayu) dan disebarkan secara luas dalam berbagai surat kabar lainnya, sehingga berbuah diasingkannya Soewardi bersama Tjipto dan Douwes Dekker dari Hindia Belanda, karena memuat kritik pedas terhadap penjajahan yang dilakukan oleh Belanda terhadap rakyat nusantara.
Nasionalisme sekarang ini sangat jauh berbeda dengan nasionalisme yang tumbuh pada zaman pergerakan. Pada zaman pergerakan seluruh rakyat disatukan oleh perasaan senasib sebagai bangsa terjajah dan berjuang untuk mengusir penjajah untuk mencapai kemerdekaan dan mempertahankan kemerdekaan. Nasionalisme dalam pengertian sekarang adalah nasionalisme menurut versi penguasa atau sekelompok pemilik modal tertentu. Nasionalisme yang seperti ini adalah nasionalisme yang tidak memihak rakyat, buta akan kepentingan rakyat, melainkan kepentingan pribadi atau kelompoknya yang diutamakan. Tidak jarang untuk mewujudkan nasionalisme menurut versi mereka, para penguasa menggunakan cara-cara represif menekan rakyat dengan dalih untuk mewujudkan rust en orde atau semacamnya.
Nasionalisme sekarang ini tidak bisa lepas dengan kemajuan dunia ilmu pengetahuan dan teknologi. Berbagai macam ideologi, doktrin dan pemahaman dapat diakses oleh seluruh rakyat melalui media massa baik cetak maupun elektronik. Segala isme tersebut bisa saja sesuai dengan ideologi bangsa kita, tetapi juga tidak menutup kemungkinan bertentangan dengan pemerintah. Informasi-informasi yang berupa isme, paham, ideologi dan sebagainya dari berbagai media massa tersebut memberikan pengetahuan dan pemahaman (alternatif) kepada rakyat disamping dari sumber “resmi” yang dapat diakses. Informasi yang tidak sesuai dengan versi negara akan selalu diupayakan untuk ditiadakan, ditindas karena akan menimbulkan resistensi terhadap pemerintahan yang berdaulat. Goenawan Mohamad (1999: 216) mengungkapkan bahwa terdapat dua cara pemerintah untuk mengontrol arus informasi yaitu dengan mengontrol media massa dan membuat informasi versi sendiri. Untuk mewujudkan dua hal ini, disebutkan pemerintah tidak segan-segan membredel, menutup, atau menghentikan media massa yang berseberangan dengan pemerintah. Kasus yang terkenal di Indonesia adalah pembredelan media cetak seperti Tempo, Detik dan Editor beberapa tahun lalu.
Tindakan represif pemerintah terhadap media massa sekarang ini tidak menunjukkan gejala seperti sebelumnya. Pemerintah seolah lebih persuasif dan kompromistis karena menyadari rakyat akan bereaksi melawan yang buntutnya akan merugikan pemerintah sendiri. Salah satu “langkah cerdik” pemerintah untuk mengontrol arus informasi dari media massa adalah dengan menggandeng para konglomerat, borjuis, atau pemilik modal. Pemerintah ikut “bermain” dalam bisnis media massa melalui konglomerat pemilik modal yang juga merupakan pemilik media massa tersebut. Tentu saja nantinya dengan kontrak-kontrak politik antara pemerintah dengan pemilik media ini yang hanya menguntungkan kedua belah pihak. Tidak heran apabila informasi-informasi yang ada adalah “pesanan” pemerintah, sedangkan keuntungan pemilik modal disini mungkin terkait dengan kemudahan birokrasi, perlindungan aset-aset, ataupun oplah atau rating yang tentu saja meningkatkan keuntungan mereka secara materi.
Media massa selalu tidak lepas dari kepentingan para penguasa (pemerintah) dan pemilik modal atau kaum borjuasi. Masing-masing pihak mempunyai kepentingan dibalik keberadaan media massa, kepentingan tersebut adalah informasi yang dimuat dalam media massa. Yasraf Amir Piliang (2004: 133) mengemukakan bahwa dalam perkembangan media mutakhir ini, setidaknya terdapat dua kepentingan utama dibalik media, yaitu kepentingan ekonomi (economic interest) dan kepentingan kekuasaan (power interest), yang membentuk isi media (media content), informasi yang disajikan, dan makna yang ditawarkan. Ditambahkan pula olehnya bahwa terdapat kepentingan publik yang terdapat diantara dua kepentingan utama tersebut yang ironisnya justru terabaikan.
Setiap warga negara atau masyarakat harusnya mampu mengontrol atau menentukan informasi di wilayah publik (public sphere) yang mereka miliki. Habermas mengungkapkan bahwa terdapat tiga bentuk kepentingan atau otoritas yang terkait dengan ruang publik, yaitu : kepentingan kaum borjuis, intelektual dan publik itu sendiri. Tiga kepentingan tersebut berlawanan dengan negara atau pemerintah (state), karena negara berkewajiban untuk menyediakan ruang publik sedang tiga hal sebelumnya berkepentingan terhadap ruang publik (dalam Piliang, 2005: 3). Namun sejatinya yang menyolok adalah ketidakberdayaan ruang publik itu sendiri, karena semua pihak memanfaatkan dan mengeksploitasi keberadaan ruang publik tersebut.
Media massa ketika dikuasai oleh pemerintah (negara) maka akan menjadi kendaraan politik para penguasa. Informasi yang ada hanyalah untuk kepentingan kelanggengan kekuasaan. Sebaliknya ketika media dikontrol oleh kaum borjuis maka yang terjadi adalah konglomerasi media, informasi yang ada hanyalah untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya berdasar atas prinsip kapitalisme.
Kepentingan ekonomi (economic interest) dan kepentingan kekuasaan (power interest) yang terdapat di media massa salah satunya tercermin dari keberadaan media massa di Indonesia, yang lebih cenderung memberitakan hal-hal terkait dengan kekuasaan; mengenai para tokoh-tokoh dan artis-artis ibukota (public figures) ataupun peristiwa yang terjadi di pusat. Sebaliknya daerah kurang mendapat sorotan media, seolah hanya menjadi pelengkap isi pemberitaan di media massa. Kurangnya pemberitaan media mengenai daerah-daerah yang jauh dari pusat kekuasaan mendorong warga yang ada di daerah terkadang membuat “sensasi” untuk bisa mendapat perhatian media. Sensasi yang dilakukan oleh warga di daerah-daerah tidak sedikit cenderung kriminal, tabu, bahkan anarkis. Anehnya, media kita pun menyukai pemberitaan yang semacam itu. Pusat harusnya peka dengan hal tersebut, karena daerah dengan segala kekurangan yang ada membutuhkan perhatian yang layak dari pusat
Kurangnya perhatian pusat terhadap daerah, sedangkan eksploitasi sumber daya alam daerah terus menerus dilakukan oleh pusat, tanpa adanya pembagian yang memuaskan daerah akan memicu konflik yang menjurus kepada desintegrasi bangsa. Konflik-konflik yang muncul banyak di daerah sangat memungkinkan untuk desintegrasi bangsa yang sungguh mengancam nasionalisme. Pada masa-masa awal kemerdekaan, sekitar tahun 1957 sampai awal tahun 1960-an, banyak terjadi desintegrasi bangsa yang bermula dari ketidakpuasan daerah atas pemerintah pusat. Desintegrasi yang tercetus lewat aksi-aksi sepihak merupakan upaya daerah untuk menarik perhatian pusat agar diakui eksistensinya, bukan sekedar minoritas yang tanpa arti.
Representasi diri (self representation) oleh daerah dan individu-individu di daerah merujuk kepada sikap apatis terhadap perlakuan pusat yang dianggap tidak adil, korup, dan sewenang-wenang. Ketidakpercayaan terhadap pusat dan orang-orang yang berkuasa bisa dilirik dari pengalaman historis masa lalu, sehingga bukan sekedar letupan pergolakan insidental semata. Selayaknya pusat lebih bijak untuk tidak menganaktirikan daerah, sehingga tidak ada lagi atau minimal berkurang porsi anarkisme dan hal-hal “rendah” yang sensasional di media, yang dilakukan daerah dan orang-orangnya hanya untuk menarik perhatian pusat (Akhriyadi Sofian).
Referensi
Anderson, Benedict. 2001. Imagined Community Komunitas-Komunitas Terbayang. Yogyakarta: Insist.
Mohamad, Goenawan. 1999. Menyalakan Lilin Dalam Kegelapan. Dalam Wardaya, F.X.Baskara T (editor). Mencari Demokrasi. Jakarta: ISAI.
Piliang, Yasraf Amir. 2004. Posrealitas: Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisika. Yogyakarta: Jalasutra.
_______ 2005. Minimalisme Ruang Publik: Budaya Publik di dalam Abad Informasi. Dalam Wibowo, Sunaryo Hadi (editor). Republik Tanpa Ruang Publik. Yogyakarta: IRE Press.
Shiraishi, Takashi. 1997. Zaman Bergerak Radikalisme Rakyat di Jawa, 1912-1926. Jakarta: Grafiti.
Stoddard, Lothrop. 1966. Pasang Naik Kulit Berwarna. Jakarta: Kantor Kementerian Koordinator Kesejahteraan.
[1] Isi Sumpah Pemuda mengenai bahasa Indonesia diselewengkan oleh Pemerintah. Sebenarnya hanya pengakuan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan bukan sebagai satu-satunya bahasa, sehingga bisa meminggirkan atau menolak keberadaan kelompok minoritas lain seperti Cina, yang merupakan WNI tetapi mungkin tidak menggunakan bahasa Indonesia dalam keseharian mereka.

Tidak ada komentar: