Rabu, 27 Februari 2008

Manusia Struktural di Era Global
Strukturalisme yang dikembangkan oleh Claude Levi Strauss merupakan strukturalisme linguistik yang berbeda dengan strukturalisme tradisional yang selama ini dikenal umum. Dalam strukturalisme linguistik ini tidak lagi terdapat klasifikasi kelas antara base structure dengan super structure yang diyakini oleh kaum Marxian akan selalu terjadi friksi satu sama lain terutama dalam kaitannya dengan kekuasaan. Strukturalisme linguistik Levi Strauss ini sebagaimana namanya merupakan strukturalisme yang melihat fungsi bahasa sebagai fungsi ideal dan mendasar dalam memahami manusia dalam konteksnya sebagai mahluk sosial.
Strukturalisme linguistik Levi Strauss ini diadopsi dari seorang ahli linguistik Perancis Ferdinand de Saussure, yang mana strukturalisme ini bermuara dari dua hal mendasar dalam linguistik yang disebut langue dan parole. Memang langue dan parole ini tidak bisa dilepaskan dari strukturalisme. Langue berarti bahasa sebagai sistem tanda atau makna sedang parole melihat bahasa sebagai suatu sistem wacana. Dalam perkembangan selanjutnya strukturalisme ini lebih dikesankan sebagai sebuah konsentrasi dari unsur langue yang fokusnya adalah seputar tanda, kode, simbol atau makna dari suatu fenomena sosiokultural. Simbol dan makna strukturalisme terkait dengan dua hal signifikan yaitu signifier (penanda) dan signified (petanda). Signifier (penanda) merupakan aspek kebendaan atau materi sebut saja huruf, traffic light, suara, dan sebagainya sedang signified (petanda) yang terkait dengan konsep atau aspek immaterial. Perpaduan dua hal tersebut menghasilkan tanda (sign) yang diyakini oleh Barthes merupakan wadah dari mitos.
Posisi parole dalam strukturalisme ini seolah tidak diindahkan sedemikian rupa mungkin karena unsur dari linguistik ini lebih mengarah kepada upaya individual yang sifatnya selalu arbitrer, berubah-ubah dan intensional dalam menyampaikan sesuatu kepada orang lain dan tentu saja menggunakan simbol-simbol tertentu (Heddy Shri A. Putra : 2004). Sebaliknya langue lebih bersifat stabil dan karena merupakan sistem wacana terkait dengan komunikasi simbolik antara manusia.
Strukturalisme yang bermain dengan tanda atau makna semakin mendapat tempatnya diantara para strukturalis selanjutnya (poststrukturalisme), sebut saja Roland Barthes dengan wacana mitologisnya yang nanti cenderung disebut semiologi lanjutan atau pelengkap semiotik Saussure (semiotik tingkat dua), Lacan dengan strukturalisme psikologisnya, atau Foucault yang mengkaitkan strukturalisme dengan kekuasaan. Strukturalisme yang menempatkan tanda atau makna sebagai entitas pokok dalam pembahasannya selalu menginterpretasikan tanda atau makna sebagai unsur yang integral dengan keseharian manusia. Di sini terdapat istilah manusia adalah animal symbolicum yang mengkonsumsi sekaligus memproduksi tanda. Segala aktifitas dan rutinitas manusia selalu dipahami sebagai sebuah upaya manusia untuk memaknai lingkungannya dengan berbagai simbol yang direpresentasikan dalam perilakunya.
Strukturalisme : anti human agents
Strukturalisme selalu dikesankan mengabaikan human agents, memandang sebelah mata terhadap realitas subjek sebagai entitas fisik. Strukturalisme lebih cenderung melihat realitas dibalik subjek, sesuatu jejaring struktur yang mengeliminir peran dan arti dari subjek. Bagaimanapun eksistensi subjek tersebut dieksploitasi, strukturalisme selalu dominan melalui konstruksi makna simbolik yang diinterpretasikan dalam cara-cara eksploitatif terhadap subjek. Kita sebut David Beckham sebagai contoh bagaimana dia sebagai subjek sangat terkenal, digilai dan dipuja semua penggemar di dalam ataupun luar lapangan sepakbola. Setiap ada perubahan dari penampilan fisik Beckham tidak pernah lepas dari pemberitaan; model rambut, cedera, tato dan sebagainya, seantero jagad mafhum. Semua tentang Beckham dibentuk oleh struktur-struktur yang terefleksi dalam representasi makna yang ‘dijual’ kepada khalayak. Menjadilah Beckham sebagai personifikasi sosok metrosexual, pribadi yang penuh kontroversial, kepala keluarga yang eksentrik, ataupun bintang yang paling dihujat. Dalam hal seperti itu strukturalisme bekerja, makna dan simbol yang menjadikan subjek seperti apa adanya subjek, manusia adalah produk dari tanda (sign) yang dimaknai ataupun dimitoskan.
Berseberangan dengan strukturalisme, kulturalisme memandang subjek yang lebih dominan daripada makna atau simbol yang diagungkan para strukturalis. Dalam hal ini subjek seolah diupayakan untuk dibentuk sedemikian rupa sampai titik nadir tertentu untuk menegaskan subjektifitas itu sendiri. Perlakuan terhadap tubuh seperti penambahan asesoris di beberapa bagian tubuh, dari yang nampak sampai yang tersembunyi adalah cara untuk menegaskan subjektifitas.
Bagaimanapun cara para kulturalis untuk menegaskan subjektifitas dengan menempatkan faktor human sebagai yang dominan selalu buntu. Perubahan bentuk fisik subjek – dalam proses adaptif ke arah subjektifitasnya - selalu digerakkan oleh kognisi dalam dirinya. Tampilan fisik yang dikembangkan oleh sebuah subjek adalah manifestasi kreatif proses kognitifnya. Hasil dari proses kreatif kognitif tersebut adalah tanda atau simbol eksistensi subjek terutama untuk diterima dalam komunitasnya. Senada dengan hal itu Baudillard mengatakan manusia selalu bermain dengan tanda-tanda. Semisal model dandanan harajuku - yang begitu fenomenal di kalangan remaja Indonesia saat ini – seolah menjadi trademark tersendiri para remaja ‘gaul’ Indonesia. Pakaian, model rambut, dan asesoris-asesoris harajuku lainnya menyimbolkan subjek yang mandiri, bebas, modern meski terkesan berlawanan dengan ‘pakem’ umum. Inilah subjek yang dieksploitasi – tidak jarang melukai fisik subjek itu seperti tato, tindik – hasil dari jaringan struktur-struktur kreatif kognitif yang direpresentasikan dalam simbol atau makna yang terkandung di dalamnya. Makna, simbol yang terdapat dibalik perlakuan terhadap subjek itu yang utama, sedang subjek yang diekspolitasi sedemikian rupa sudah cukup berperan, tidak ada lagi tempat untuk subjek.
Penutup
Strukturalisme yang dikembangkan oleh Levi Strauss sampai sekarang masih mendapatkan tempatnya dalam jajaran teori-teori ilmu sosial. Era digital dewasa ini semakin memposisikan strukturalisme sebagai sebuah teori agung dalam ilmu sosial dalam membaca realitas. Konsumerisme yang merupakan anak kandung dari kapitalisme global dengan budaya shopaholic-nya, memainkan peran penting dalam ‘pemasaran’ ide-ide strukturalisme lewat virtual market. Konsumen tidak perlu tahu secara kasat mata barang atau benda yang dipasarkan, karena bahasa iklan sudah cukup untuk merepresentasikan produk tersebut sehingga konsumen tidak ragu untuk membelinya.
Dalam era kapitalisme global ini, segala hal bisa menjadi produk yang diperjualbelikan. Hanya dengan menjadi konsumtif maka eksistensi kita diakui. Selama ini pula strukturalisme mengejawantah dalam rupa simbol atau tanda yang secara sadar atau tidak sadar selalu kita mainkan. Karena kita adalah produk dari tanda sekaligus konsumen dari tanda atau simbol tersebut/yadi.

Tidak ada komentar: