Jumat, 29 Februari 2008

QUO VADIS PEREMPUAN?
SEKELUMIT REALITAS PEREMPUAN DAN TUNTUTAN BUDAYA

Umur merupakan sesuatu yang sangat ditakutkan oleh perempuan. Semua perempuan tidak mau dianggap tua. Penolakan perempuan terhadap realitas tersebut tercetus lewat make up, mode dan gaya hidup yang memang identik dengan diri mereka. Namun, tampaknya waktu berkata lain. Waktu lambat laun membuka selubung perempuan yang sebenarnya. Banyak cara yang dilakukan oleh perempuan untuk kompromi dengan waktu, atau malah sebaliknya membenci waktu. Menjadi bagian yang tak terpisah dengan trend zaman adalah upaya perempuan untuk lari dari bayang-bayang waktu. Mareka percaya di balik polesan lipstick setidaknya akan menyamarkan realitas usia mereka yang tidak bisa disembunyikan dari waktu.
Perkawinan dan Keluarga Indomie
Beban perempuan ini tidak lantas berkurang, sebaliknya semakin menjadi dengan adanya tuntutan akan perkawinan. Tampaknya perkawinan ini akan selalu mengangkangi dan meracuni perempuan, yang akan selalu menjadi sembilu di tengah upaya perempuan untuk sembunyi dalam seabrek rutinitas mereka. Perkawinan seperti juga keperawanan sebagaimana disebut oleh Naomi Wolf dalam Mitos Kecantikan (2004) merupakan religiusitas utama perempuan tampaknya sekarang sudah kehilangan kesuciannya. Fenomena ini salah satunya didorong oleh lembaga perkawinan yang berisi kompleksitas normatif dimana sangat diupayakan untuk dihindari oleh (sebagian) perempuan.
Sebut saja perkawinan-perkawinan instan yang banyak dilakukan dewasa ini. Perkawinan semacam ini sekedar tuntutan untuk menegaskan legalitas formal hubungan kelamin perempuan dengan pasangannya. Maka hiduplah perempuan dalam sebuah institusi baru yang disebut keluarga. Puaskah perempuan? Apakah beban perempuan ini lantas sirna? Pikiran umum mungkin menganggap perempuan ini sudah berkurang masalahnya. Setidaknya perempuan ini sudah laku, sudah ada yang mau, syukur tidak menjadi “perawan” tua. Seperti itulah ungkapan-ungkapan umum yang sering kita dengar di masyarakat kita. Lucunya anggapan-anggapan tersebut santer berasal dari kalangan perempuan sendiri. Tidak jelas apakah ini ungkapan tulus atau sekedar cibiran semata.
Institusi keluarga sekarang ini sudah tidak sakral lagi. Terlepas dari latar belakang dan tujuan dibentuknya keluarga tersebut. Bagaimana relasinya dengan perempuan? Seperti uraian sebelumnya, kalau memang perkawinan yang dilangsungkan oleh perempuan tersebut hanya sebatas pengakuan semata, tidak heran apabila institusi keluarga yang terbentuk pun sifatnya instan. Keluarga yang seperti ini adalah keluarga indomie. Bukan sebuah keluarga idaman. Meski ada rumah yang ditempati oleh perempuan berkeluarga, toh hanya menegaskan sebagai sebuah bangunan fisik semata, tidak lebih dari itu. Interaksi-interaksi dan hal-hal lain yang seharusnya ada di sebuah keluarga yang umum diketahui hanya sebatas ilusi. Dan perempuanlah yang paling berperan dalam membentuk sebuah keluarga indomie tersebut.
Sudah selayaknya sebuah keluarga yang terbentuk memerlukan peran seorang manager handal untuk menangani urusan-urusan rumah tangga. Manager handal yang seharusnya sangat mengerti urusan keluarga itu adalah perempuan adanya. Tapi ironis sekali oleh sebagian kalangan perempuan sendiri, keluarga diartikan sebagai pengebiri perempuan. Aktifitas rumah tangga tidak sedikit dianggap kuno oleh perempuan. Diversi ini mulai banyak terlihat dari kecenderungan perempuan untuk mencari kesenangan di luar rumah tangga. Bukan perempuan gaul kalau tidak kongkow di mall. Bukan perempuan modern kalau tidak shopaholic, kalau tidak konsumtif, kalau tidak modist, kalau tidak…
Perempuan imajinatif seperti ini sungguh sesuai dengan penggambaran Jean Baudillard dalam Berahi mengenai jenis manusia yang selalu bermain-main dengan tanda-tanda, seolah mempercayai isyarat atau ilusi yang sebenarnya menyesatkan mereka. Tanda-tanda dan isyarat itu memang nantinya akan membawa mereka ke arah kesenangan sesaat yang selalu mereka usahakan raih untuk kemudian dinikmati. Kesenangan yang merupakan cara mereka untuk sembunyi dari kekhawatiran dan ketakutan yang akan melunturkan eksistensi mereka.
Feminisme; Wadah Utopis Perempuan (Perkotaan)
Feminisme seolah merupakan jawaban dari persoalan-persoalan yang dihadapi oleh perempuan. Feminisme diyakini mewakili eksistensi perempuan yang tersubordinat dari lawan jenisnya. Sejak masa revolusi Perancis, feminisme selalu berusaha mengembalikan kekuasaan dinasti matriarki yang telah diruntuhkan dan digantikan oleh dinasti patriarki. Setidaknya menempatkan mereka sejajar dengan para patriarkat dalam berbagai hak. Semboyan egalite (persamaan), liberte (kemerdekaan) dan fraternite (persaudaraan) dari revolusi Perancis dimanfaatkan oleh para feminis untuk mewujudkan tuntutan akan hak-hak mereka. Persamaan hak dengan lawan jenisnya dalam berbagai bidang sekarang sudah didapatkan perempuan namun itu tidak lantas membuat perempuan merasa cukup. Salah tafsir terhadap feminisme membuat perempuan salah langkah. Feminisme itu sendiri tampaknya juga yang mengajak perempuan untuk melawan dinasti patriarkat atau dalam istilah Naomi Wolf adalah kekuasaan maskulin. Naomi Wolf dalam Gegar Gender (1997) menyerukan kepada semua feminis dan kaum perempuan untuk menabuh genderang perang terhadap kekuasaan maskulin yang diklaim tidak memberikan kesetaraan kepada perempuan dalam hak politik dan ekonomi.
Feminisme memang tidak bisa memberikan jawaban yang memuaskan terhadap permasalahan perempuan yang ada hubungannya dengan tuntutan budaya yaitu perkawinan dan keperawanan. Di masyarakat kita, bukan suatu rahasia umum bagi perempuan yang sudah berumur dua puluh tahun keatas diminta untuk nikah atau kawin. Perkawinan seperti juga keperawanan merupakan jalan perempuan menuju kesempurnaan. Sesuatu yang sangat disakralkan di masyarakat kita. Dimana feminisme itu ketika perempuan sudah tidak mempunyai pilihan lain dalam hidupnya? Apa bukan feminisme itu sendiri yang selalu melakukan intervensi dalam keluarga yang telah dibina oleh kaumnya? Jadi, siapa yang seharusnya disalahkan untuk setiap problematika perempuan?
Feminisme harusnya tidak semata-mata memfokuskan diri pada kesetaraan hak perempuan dalam politik dan ekonomi. Permasalahan budaya di lingkungan perempuan dengan isu-isu yang sering menganaktirikan perempuan sebaiknya lebih peka diangkat dan secepatnya dipecahkan oleh feminisme. Perempuan di tingkat piramida sosial terendah – yang jumlahnya mayoritas – di berbagai daerah di Indonesia mempunyai problematika sendiri-sendiri yang kompleks. Pribadi perempuan ini dibentuk secara berbeda-beda oleh budaya tempat mereka hidup.
Feminisme terkesan lebih condong untuk para perempuan perkotaan yang hidup dengan problematika metropolitan. Seharusnya permasalahan perempuan perkotaan ini meliputi semua kalangan perempuan. Bukankah permasalahan lingkungan urban ini salah satunya adalah perempuan? Berapa jumlah perempuan yang mangkal di jalan remang-remang kota menjajakan dirinya sekedar untuk bertahan hidup? Atau para ibu yang hidup nomaden di rumah-rumah kardus? Seberapa jauh feminisme menyentuh permasalahan perempuan di lingkungan urban ini?
Feminisme adalah sebuah isme untuk memperbaiki nasib hidup perempuan yang tidak terpolarisasi oleh lingkungan, pekerjaan, atau status sosial perempuan. Feminisme bukan milik segelintir perempuan tertentu, juga bukan gerakan perempuan tertentu yang kontra dengan lawan jenisnya untuk tujuan utopis. Feminisme ini harus bisa menjadi wadah perempuan yang akan memperjuangkan hak-hak mendasar perempuan untuk kemaslahatan hidup perempuan sendiri. Hak-hak mendasar perempuan berbeda satu sama lain tergantung permasalahan dan lingkungan tempat perempuan tersebut berada. Hak mendasar perempuan yang hidup di kota sudah pasti berbeda dengan perempuan yang tinggal di pedesaan. Kaum feminis pasti sangat mafhum akan realitas ini.
Bukan suatu hal tabu untuk bergandeng tangan bersama antara patriarkat dan matriarkat untuk kemaslahatan satu sama lain. Satu permasalahan yang satu menjadi masalah bagi yang lain karena kedua belah pihak saling membutuhkan. Hal ini adalah refleksi dari sebuah keluarga idaman. Kedua belah pihak saling menghormati, mengerti tugas dan tanggung jawab masing-masing. Bukankah seharusnya kita semua begitu? Sekat-sekat perbedaan yang memang ada tidak menjadi aral bagi perempuan dan lawan jenisnya untuk menuju hidup yang lebih baik/yadi.

Tidak ada komentar: